Monday, December 11, 2006

Di Malang

Tujuan kami pulang ke Indonesia hanya untuk mengunjungi Candi Borobudur dan orangtua kami. Oleh Bhante Cittagutto, kami diminta untuk mengunjungi Dhammadipa Arama. Vihara ini terdapat di Malang, Jawa Timur. Di vihara inilah kami ditahbiskan menjadi samanera. Kami ditahbiskan pada tanggal 26 November, 2000. Kami tidak tahu secara persis apa tujuannya diminta untuk mengunjungi vihara ini. Mungkin untuk mengunjungi tempat penahbisan, sekaligus melihat kampus Kertarajasa dan kegiatan perkuliahan yang ada di Sekolah Tinggi Agama Buddha ini.

Pukul enam lewat, kami meninggalkan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya menuju Bandara Seokarno-Hatta. Ada tiga bhikkhu dan kami berdua dalam kendaraan itu. Bhante Pannavaro dan Bhante Jotidhammo berangkat ke Mendut. Mereka berangkat dari terminal dua. Bhante Viriyadharo dan kami berdua berangkat ke Malang. Kami berangkat dari terminal satu. Sri Wijaya Airlines adalah pesawat yang kami tumpangi. Sepertinya ini adalah maskapai penerbangan baru. Tiga tahun yang silam ketika masih berada di Indonesia, saya belum pernah mendengarkan nama maskapai penerbangan itu. Atau, saya mungkin ketinggalan informasi.

Kami sampai di Malang agak sedikit terlambat dari yang dijadwalkan karena memang pesawatnya berangkat agak lambat. Padahal, sopir sudah menunggu di bandara sejak pukul tujuh. Sopirnya, Mas Bison. Entah siapa nama lengkapnya. Kami biasa memanggilnya begitu. Dia berasal dari Boro, Blitar, Jawa Timur. Saya sudah mengenalnya sejak pertengahan tahun 2002. Waktu itu, saya ditugaskan di Blitar. Ia bekerja di vihara dan masih pacaran dengan Mbak Sumedha. Kini, mereka sudah menikah dan sudah punya momongan satu.

Udara di Dhammadipa Arama cukup panas di siang hari, tapi dingin luar biasa di malam hari, terlebih lagi di musim panas. Vihara ini terletak di desa Mojorejo, Kota Administratif Batu. Ada sebuah replika Swedagon Pagoda di vihara ini. Ada museum. Ada perpustakaan. Sayang sekali, buku-bukunya masih belum begitu banyak. Umumnya, masih didominasi oleh buku-buku lokal. Vihara ini dulu pernah dibom. Kerusakan memang tidak terlalu berat. Kini, dipasang empat kamera untuk memonitor aktivitas yang berlangsung di vihara yang cukup luas itu. “Sekedar untuk mengantisipasi kemungkinan yang bakal terjadi saja,” kata Bhante Viriyadharo.

Hanya dua bhikkhu yang tinggal di vihara ini: Bhante Khantidharo dan Bhante Viriyadharo. Bhante Khantidharo menjabat sebagai kepala vihara. Beliau sudah cukup sepuh. Kalau saya tidak salah beliau sudah berusia 77 tahun. Selain sebagai kepala vihara, beliau juga sebagai guru meditasi. Saya sangat senang dengan cara beliau mengajar. Beliau sangat pandai memotivasi murid-murid beliau agar tetap terus maju. Beliau akan mencambuk dengan kata-kata yang penuh motivasi di saat murid-muridnya tampak kendur. “Bagus,” puji beliau saat kita sedang sukses dalam meditasi.

Bhante Viriyadharo berasal dari Banyuwangi. Saya pernah berkunjung ke desanya sekali. Bersama Bhante Khantidharo beliau pernah belajar meditasi di Burma. Bhante Viriyadharo adalah bhikkhu yang sabar. Beliau tahan menghadapi berbagai macam penderitaan. Tahan menghadapi kritikan maupun celaan. Banyak orang yang memuji kesabarannya. Pengalaman meditasinya sangat bagus, layak dijadikan suritauladan dan panutan bagi mereka yang ingin menapaki kehidupan spiritual.

Bhante Viriyadharo adalah bhikkhu yang sangat humoris. Banyak orang tertawa terpingkal-pingkal karena humornya. Banyak cerita-cerita lucu yang menyegarkan pikiran beliau berikan. Tentu saja, lelucon itu lebih banyak mengarah pada kemajuan spiritual. Gaya beliau hampir tidak ada bedanya dengan Mr. Sanath Kumara Nanayakkara. Saat berkumpul dengan kami, beliau senang bercanda. Namun, canda yang bermanfaat bagi perkembangan intelektual. “Bisa minta bantuan Samanera?” tanya Bhante Viriyadharo kepada saya pada sore hari. “Bisa, Bhante kalau saya bisa melakukannya,” jawab saya. Sore itu, kami berangkat ke rumah dukkha. Ada umat yang meninggal dunia. Kami diminta hadir untuk membaca paritta.

Setelah makan siang, Supiro dan Putu datang menemui saya. Mereka, kini, sedang duduk di semester tujuh. Supiro berasal dari Kalimantan Barat. Sedangkan, Putu berasal dari Sulawesi Tenggara. Saya belum pernah berkunjung ke Kalimantan Barat tempat tinggal Supiro. Tetapi, saya pernah tinggal selama beberapa hari di desa Putu, di Sulawesi Tenggara. Umat-umatnya tidak begitu banyak di desanya. Namun, rasa bhakti mereka sungguh sangat mengagumkan. Mereka sangat senang kalau ada bhikkhu atau samanera yang mengunjungi mereka. Setiap hari selalu ada yang menemani di vihara. Desanya masih sangat alami. Banyak orang yang pelihara babi di desa ini. Babi-babi itu tidak mereka konsumsi sendiri, melainkan mereka jual. Bagi mereka, beternak babi cukup menguntungkan. Tidak banyak pekerjaan dan hasilnya segera dapat dinikmati.

Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Mereka bertanya tentang kehidupan di Sri Lanka. Saya jawab dengan jujur semua pertanyaan. Tidak ada yang saya besar-besarkan maupun yang saya kurangi. Saya cerita apa adanya. Kami juga mendiskusikan soal skripsi mereka. Supiro berencana membuat skripsi dengan judul Politik Praktis dalam Pandangan Agama Buddha. Saya beritahu beberapa buku referensi yang membahas soal politik dalam agama Buddha. Putu berencana mengambil judul Esensi Ketuhanan dalam Agama Buddha. Saya sarankan agar dia mempersiapkan judul lain. Ada kemungkinan judul itu akan ditolak.

Perbincangan kami akhiri karena ada tamu dari Sri Lanka. Seorang lelaki setengah baya datang bersama keluarganya. Ia bekerja di sebuah pabrik susu di Jawa Timur. Kebetulan, saat itu anak dan istrinya berkunjung ke Indonesia. Layaknya sebagai suami dan ayah, ia ajak jalan-jalan anak dan istrinya. Tidak ketinggalan, ia kunjungi vihara. Di Sri Lanka, merupakan suatu tradisi untuk berkunjung ke vihara. Mereka datang ke vihara kadang untuk bertemu dengan para bhikkhu guna mendapatkan nasehat dan petuah. Sering juga mereka datang untuk melaksanakan ritual keagamaan.

Sebelum tamu dari Sri Lanka itu sempat berpamitan, sepupu Pak Manto telah tiba. Dia datang juga untuk mengucapkan terima kasih. Selebihnya, kami berdiskusi soal agama dan filsafat kehidupan. Diskusi kami lebih terpusat pada meditasi dan hipnotisme. Dia ingin belajar meditasi, juga ingin tahu bagaimana proses hipnotisme dan apa sebenarnya yang terjadi saat seseorang sedang dihipnotis. Pertanyaan-pertanyaannya saya jawab ala kadarnya, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki. Soal dia puas atau tidak saya tidak tahu karena tidak ada seorang pun yang bisa merasakan kepuasan seseorang selain orang itu sendiri. Pengalaman hidup kita adalah milik kita sendiri. Tidak ada yang bisa memiliki pengalaman yang sama persisnya.

3 comments:

Anonymous said...

wah. sayang ya, baik samanera maupun saya nggak ada yang pegang kamera waktu kita ketemu. nggak bisa jepret-jepret...

Dhammasiri said...

Wah Mas, kami hanya punya satu kamera. Kamera itu kami pergunakan bareng-bareng. Kami pulang ke Indonesia ke daerah yang sama. Sebagai yang muda, tentu saya harus mau mengalah lho.

Anonymous said...

Cerita yang amat menarik tidak membosankan tapi sayang tidak ada foto vihara terutama Buddha rupam nya ... tolong ditambahin foto Buddha rupam dari Vihara malang ini donk....