Monday, December 11, 2006

Di Jakarta



Artikel yang lalu tentang kunjungan kami ke Indonesia, saya ketik di warnet. Saya pun tidak tahu apa ada kesalahan ketik atau tidak. Seingat saya, saya juga tidak memeriksanya. Kali ini, saya ini meneruskan lanjutannya. Saya tidak ingin cerita terpenggal begitu saja. Mas Sahrudin memang penulis idola saya. Tulisannya bagus. Sungguh saya sangat mengagumi tulisannya. Tapi, saya pun tidak ingin meniru kebiasaannya. Ia selalu bilang bersambung. Namun, sampai sekarang tak satu pun tulisan yang saya temukan sambungannya (semoga saja saya kelewatan baca). Artikelnya berjudul Fahuwa Raddun adalah favorit saya. Artikel itu telah saya baca berulangkali. Saya tidak bosan membacanya. Ceritanya benar-benar mengalir. Kata-katanya sangat lues. Sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sambungannya. Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri: “Mungkinkah ini akibat dari Munchausen Syndrome?” Bersambung tapi tak disambung. Mungkin tidak hanya saya yang kecewa. Bisa jadi, pengagum tulisan Mas Sahrudin sering mengunjungi blognya. Sesampainya di sana, mereka menutup blog dengan tangan hampa. Alasannya, sambungannya belum ada. Mungkin, hm…produsernya lagi ngantuk (lembur siang dan malam).

**************


Kami sampai di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, yang terletak di perumahan Sunter Agung Podomoro itu, sekitar pukul 20.30 WIB. Hanya ada satu bhikkhu di sana. Hanya Bhante Suratano yang ada. Bhikkhu-bhikkhu yang lain sedang mengikuti rapat pimpinan. Rapat tersebut rutin dilaksanakan setiap empat bulan sekali. Kali ini, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya terpilih sebagai tuan rumah.

Kami tidak langsung istirahat. Kami hanya ke kuti belakang untuk menaruh barang. Kuti itu letaknya di luar areal vihara. Tetapi, tidak jauh. Setelah itu, kami kembali ke depan. Kami diberi minuman sekedar untuk menghilangkan dahaga. Kami harus menunggu. Ya, menunggu rapim itu selesai. Kami harus bertemu sesepuh kami lebih dahulu, baru kemudian istirahat. Sambil menunggu, kami berbincang-bincang dengan Bhante Suratano. Kami berbincang-bincang di lantai atas. Sesaat kemudian Bhante Dhammajato tiba. Ia baru saja menghadiri sebuah acara di luar.

Ada beberapa bhante saat itu. Saya tidak ingat secara persis namanya. Dulunya, mereka adalah yunior kami. Mereka menjalani kehidupan monastik belakangan. Kami memilih untuk melanjutkan study ketimbang diupasampada (dikukuhkan menjadi bhikkhu). Sementara, mereka lebih memilih diupasampada setelah menjalani kehidupan sebagai samanera selama dua tahun. Kini, mereka menjadi senior kami. Meski demikian, kami tetap menghormati mereka. Kami tetap menjungjung mereka sebagai orang yang layak untuk dihormati.

Pembicaraan kami lebih terpusat pada kehidupan di Sri Lanka. Kami bicara soal para bhikkhu, pusat-pusat meditasi di Sri Lanka, juga tentang belajar kami. Kami lebih banyak menjawab pertanyaan. Terkadang saya yang menjawab, terkadang Samanera Santacitto. Cukup lama kami berbincang.

Rapim yang diselengarakan di Ruang Serba Guna itu, selesai pukul 22 WIB lewat. Ruang Serba Guna letaknya di seberang jalan. Juga terletak di luar areal vihara. Bangunan ini serta kuti belakang, dibeli belakangan. Sedangkan, tanah vihara seluas kurang lebih delapan ribu meter itu, disumbangkan oleh Bapak Anton Haliman. Beliau adalah pengembang perumahan Sunter Agung Podomoro (tentunya kalau saya tidak salah tulis).

Bhante-bhante yang baru saja menyelesaikan rapim, satu per satu berdatang ke lantai atas. Bukan untuk menjenguk kami. Tetapi, di lantai atas itu terdapat beberapa ruangan untuk tinggal. Lantai bawah digunakan untuk ruang tamu, kamar mandi, dapur dan ruang makan. Dalam tradisi kami, setiap yunior mempunyai kewajiban untuk menghormati senior. Tentu gaya dan cara kami menghormati senior berbeda dengan gaya dan cara ala militer. Kami menghormati tergantung pada tempatnya. Kami menghormati para senior dengan bersujud atau dengan beranjali (merangkapkan keduangan telapak tangan di depan dada). Cara ini telah diwariskan sejak zaman Sang Buddha masih hidup. Kami akan bersujud saat berada di tempat-tempat yang layak. Kalau di tempat-tempat ramai, kami cukup beranjali.

Saat itu, kami berada di tempat yang layak. Kami pun bersujud kepada bhante-bhante yang datang (Dalam terminology kami, sejud semacam ini disebut namaskara.). Cukup banyak pula bhikkhu yang mengikuti rapim. Hanya beberapa bhikkhu senior yang tidak hadir saat itu. Kami bertemu Bhante Jotidhammo malam itu. Beliau adalah ketua umum Sangha Theravada Indonesia. Kami juga bertemu dengan Bhante Subhapanno, Bhante Dhammadhiro, Bhante Saddhaviro dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saya merasa capek. Sejak jam enam pagi, kami sudah harus memulai perjalanan. Duduk selama lima setengah jam di dalam pesawat benar-benar menguras tenaga kami. Akhirnya, kami berpamitan untuk beristirahat. Kami beristirahat di kuti belakang. Satu kamar untuk kami berdua.

Di kuti belakang, ada empat kamar di lantai atas dan beberapa kamar di lantai bawah. Lantai bawah dipergunakan sebagai tempat tinggal para pekerja vihara. Sedangkan, lantai atas dikhususkan untuk para bhikkhu atau samanera tamu, terutama kalau kamar di kuti depan sudah penuh. Ada kalanya, bhikkhu-bhikkhu yunior yang tinggal di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, harus tinggal di kuti belakang bila tamu yang datang adalah bhikkhu senior. Malam itu, bhikkhu-bhikkhu yunior umumnya tinggal di kuti belakang bersama dengan kami.

Istirahat kami malam itu benar-benar pulas. Capek benar-benar menenggelamkan kami dalam tidur. Saya sendiri tidak mendengar lonceng berbunyi. Padahal, lonceng itu rutin dibunyikan setiap pukul lima pagi. Kami bangun jam enam lewat. Segera kami mandi. Tepat pukul tujuh kami semua harus sudah siap di ruang makan.

Kami agak terlambat untuk datang ke ruang makan. Semua para bhikkhu sudah siap. Mereka juga sudah mulai makan. Cukup banyak umat yang datang untuk berdana makanan. pagi itu

*************

“Para Bhante dan Avuso serta Samanera,” begitu Bhante Cittagutto mengawali pengumuman itu. Sapaan itu benar-benar menarik perhatian para bhikkhu dan kami berdua yang baru saja selesai makan. Bhante Cittagutto, sebagai seketaris Sangha Theravada Indonesia, mengumumkan bahwa semua para bhikkhu dan samanera diharapkan untuk berpartisipasi dalam acara pembukaan pameran bernuansa Buddhist, khususnya Theravada, yang digelar di sebuah mal baru. Mal itu letaknya tidak jauh dari vihara. Barangkali hanya satu kilometer dari vihara. Sayang, saya tidak ingat nama tempat itu (sorry ya pikiran saya lagi bebal).

Acara pembukaan pemaren Buddhist itu dilangsungkan dengan sederhana. Acara itu digelar di lantar sepuluh. Lantai ini memang belum selesai dengan sempurna. Tetapi, sudah ber-AC, dan cukup untuk mendukung acara tersebut. Bhante Subalaratano sebagai bhikkhu yang paling senior memberikan kata sambutan dalam acara tersebut. Beliau menceritakan liku-liku perjuangan Sangha Theravada Indonesia selama tiga puluh tahun. Perjuangan itu terasa amat berat, penuh dengan beban. Kini, hasilnya dapat dinikmati oleh tidak saja umat Buddha sendiri namun juga khalayak ramai.

Pameran itu dibuka oleh Bhante Jotidhammo sebagai ketua umum Sangha Theravada Indonesia. Ada beberapa vihara dan organisasi Theravada yang mengikuti pameran tersebut. Sangha Theravada Indonesia (STI) memamerkan cukup banyak foto, termasuk foto kami saat baru saja sampai di Sri Lanka. Majelis Agama Buddha Theravada (MAGABUDI) Wanita Theravada Indonesia (WANDANI), Pemuda Theravada Indonesia (PATRIA), juga turut menyemarakkan pameran tersebut. Beberapa vihara yang turut berpartisipasi dalam pameran tersebut adalah Dhammadipa Arama, Malang, Jawa Timur, Vihara Saddhaphala dari Jakarta, Girisena dari Lombok dan beberapa vihara lainnya.

“Apa Samanera punya saudara dari Sumatra?” tanya Bhante Atimedho sebelum acara dimulai. Saya katakana, “Ya, Bhante. Paman saya ada di sana.” Beliau pun mengatakan bahwa paman saya turut hadir dalam acara tersebut. Kami berusaha mencari, tapi tak ketemu. Di saat sedang berusaha untuk mencari, Bhante Atimedho bertanya kembali, “Apa Samanera tahu kalau ketemu dengan pamannya?” Saya tidak punya jawaban selain “Tidak”. Paman itu namanya Dwi Prayitno. Kami biasa menyebutnya dengan sebutan Lek Prayit. Dia adalah adik ayah. Entah pada tahun berapa ia berangkat ke Sumatera. Saya tidak tahu. Apakah saya sudah pernah ketemu di waktu kecil atau tidak, saya juga tidak tahu. Pokoknya tidak tahu. Paman saya pun tidak ada bedanya. Ia tidak tahu saya. Pun tidak mengenali saya seandainya bertemu.

“Samanera kenal orang itu?” tanya Bhante Atimedho saat saya sedang asyik mengamati sebuah foto. Saya perhatikan orangnya. Matanya agak sipit. Tampak lebih sipit dari saya. Kulitnya juga tidak terlalu putih. Tingginya, hampir tidak ada bedanya dengan saya. Tidak ada persamaan seperti ayah. Dia bukan paman saya. “Oh, tidak Bhante,” sahut saya sesaat kemudian. “Ya, itu paman Samanera.” Saya tidak kaget. Pun tidak teriak kegirangan. Kami tidak berpelukan. Tidak salaman juga. Semuanya terasa biasa. Tidak ada yang spesial. Kami bercakap-cakap sesaat dan saya pamitan karena saat itu kami harus bersiap-siap untuk santap siang.

***********

Setelah ambil sandal, saya menyaksikan Bhante Santamano sedang bercakap-cakap dengan Cik Hua Bie. Saya kenal mereka berdua. Cik Hua Bie berasal dari Lampung dan Bhante Santamano bertugas di Lampung. Saya mengenal mereka saat saya bertugas di Lampung. Saya tidak ingin ganggu mereka. Saya biarkan mereka meneruskan percakapan. Setelah selesai, barulah saya hampiri. Saya sapa Cik Hua Bie. Dia cukup kaget melihat saya. Ia tampak cukup bahagia. Saya tanyakan suaminya dan anak-anaknya. Mereka sebenarnya hadir dalam acara tersebut, tetapi entah kemana. Saya tidak bicara panjang lebar dengannya. Segera saya pamitan untuk kembali ke vihara.

Rasa capek masih terasa menyiksa tubuh saya. Istirahat pulas semalam tampaknya masih belum menyirnakan rasa capek itu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, segera saya istirahat begitu sampai di kuti. Sayang, saya tidak bisa beristirahat cukup panjang. Saya terbangun. Saya tidak bisa tidur lagi. Saya ingat ada janji. Paman dan bibi katanya sudah menelpon beberapa kali. Tetapi, tidak berhasil berbicara dengan saya. Mereka memang saya minta untuk datang sore itu. Pak Imam, juga saya minta datang sore itu.

Paman dan bibi serta anaknya datang setelah saya tunggu untuk beberapa saat. Anaknya bernama Rupasari, bibi bernama Komsah tapi saya tidak tahu nama paman. Mungkin bagi kebanyakan orang akan merasa aneh. Sebagian mungkin akan mencela, mengapa saya tidak tahu nama paman atau pun mengenalinya. Kami memang punya beberapa saudara. Semuanya berasal dari desa Tunahan, kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Sebagian keluarga telah pergi ke berbagai tempat demi perbaikan ekonomi. Kami sekeluarga bertransmigrasi ke Kalimantan Timur. Kami tinggal di sebuah desa terpencil di kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kertanegara. Dulu, desa itu tak terjamah oleh kendaraan selama berbulan-bulan. Untuk bisa pergi ke pasar atau ke Rumah Sakit, kami harus jalan kaki berkilometer jauhnya. Hubungan keluarga kami jalin dengan surat. Terkadang kami berkirim foto. Itulah sebabnya kami tidak saling mengenali.

Dengan paman dan bibi, kami bercerita soal kehidupan Sri Lanka. Makanan, budaya, dan tradisi masyarakat Sri Lanka adalah topik pembicaan kami. Tidak lupa saya pun menanyakan tentang kedua anaknya. “Purnomo sudah kelas dua SMK dan Rupasari kelas Enam SD,” paman menjelaskan.

Sebelum Pak Le dan Bu Le serta anaknya pulang, seorang lelaki masuk ke ruang tamu. Ia datang untuk mewancarai seorang bhikkhu. “Bhiksu siapa aja,” katanya. Bhante Khantidharo menyarankan agar dia mewancarai saya. Sebenarnya saya mengelak. Alasannya, simple. Saya masih sangat yunior dibandingkan dengan Bhante Khantidharo. Ada perasaan tidak enak kalau saya yang diwawancarai. Namun, Bhante Khantidharo tetap meminta saya untuk mau diwawancarai. Saya persilahkan dia dengan catatan “Mohon maaf bila saya tidak mampu menjawab seluruh pertanyaan saudara dengan sempurna.” Dia memperkenalkan diri. Dia menyebut sebuah universitas ekonomi. Lagi-lagi saya lupa nama universitas itu.

Wawancara berlangsung. Dia tidak bisa mewancarai dengan fasih. Tampak sedikit gerogi dan agak sedikit terbata-bata. [Mas Sahrudin tentu lebih fasih ketika mewancarai saya. Ya, memang perlu diakui kadang dia pun masih tampak kaku dalam mewancarai.] Beberapa kali saya harus mengulangi jawaban dan memberikan penjelasan lebih detail karena dia tidak paham. Maklum, dia bukan umat Buddha. Tugasnya adalah membuat sebuah artikel tentang agama lain dari sudut pandang agama itu, bukan dari sudut pandang agamanya. Dia berpamitan pulang setelah wawancara dianggap cukup. “Oh maaf, boleh tidak ya saya foto bareng karena syarat wawancara ini adalah foto bareng dengan nara sumber.” Kami foto bersama dan paman yang jadi kameramannya. “Terima kasih,” dan ia berpamitan pulang.

Pukul 15.30 WIB paman pamitan pulang. Ia membawa serta oleh-oleh yang saya berikan. Tidak besar. Juga tidak banyak. Hanya gambar Sang Buddha dan tiga buku hasil tulisan saya yang terbaru, yaitu Relevansi Agama Buddha terhadap Kehidupan Sosial, Arti Sebuah Pengabdian, dan Bhakti Seorang Anak. Saat itu Pak Imam belum juga muncul.

Pukul 16.00 WIB Rapim selesai. Bhante-bhante yang baru saja menyelesaikan Rapim berdatangan ke kuti. Seorang lelaki berbadan ramping, cukup tinggi masuk bersama Bhante Saddhaviro. Ia juga menyalami Bhante Saddhaviro. Senyumnya cukup ramah. “Bisa saya bertemu dengan Bhante Dhammasiri?” tanyanya setelah berjabat tangan. “Bapak, Pak Imam ya?” tanya saya. Saya persilahkan dia duduk di kursi sebelah saya setelah ia membenarkan pertanyaan saya.

Ini adalah kali pertama saya bertemu dengan Pak Imam. Sebelumnya kami hanya kenal lewat sms. Kami juga tidak pernah berkirim surat atau bicara via telepon. Pun tidak pernah saling kirim email. Hanya lewat sms kami berkomunikasi. Sore itu, dia datang atas nama keluarga untuk mengucapkan terimakasih kepada saya. Aslinya dia adalah orang Pati, Jawa Tengah. Dia tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di Cikarang. Dia harus mengendarai sepeda motor sekitar satu jam untuk bisa bertemu saya.

Ada apa gerangan sehingga Pak Imam jauh-jauh datang untuk mengucapkan terima kasih? Mereka ingin mengucapkan terima kasih karena saya telah menolong suami adiknya yang kena strok. Eith…tunggu dulu! Jangan salah prasangka! Saya bukan dokter. Bukan pula seorang dukun atau paranormal. Menyembuhkan orang seingat saya belum pernah, menyakiti orang sering. Menyembuhkan orang sakit belum tentu bisa. Menyakiti orang sehat sudah bisa dipastikan: 100% bisa. Caranya? Gampang. Ambil saja hamer. Pukulkan hamer itu ke kepala orang yang sehat. Pasti sakit. Kalau belum sakit? Tambahin saja satu atau dua kali.

Suatu hari, saya dapat email dari orang yang tidak saya kenal. Isinya, minta bantuan saya. Sepupunya yang sedang berlayar dari Padang, Sumatera Barat, ke Arab Saudi sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit di Kolombo. Nama sepupunya itu Edi Wachid Harmanto (maaf kalu saya salah ingat). Kami biasanya memanggilnya Pak Manto. Saya menemukan Rumah Sakit dimana Pak Manto dirawat. Ia dirawat di Nawaloka Hospital. Selama berada di Nawaloka sayalah yang selalu mengunjunginya setiap hari. Kalau sedang ada kuliah pagi, saya kunjungi sore hari. Kalu tidak ada kuliah, saya kunjungi pagi hari. Samanera Santacitto pernah sekali mengunjungi. Karena alasan itulah Pak Imam datang untuk mengucapkan terima kasih.

Sebenarnya, saya tidak mengharapkan ucapan terima kasih dalam bentuk apapun. Saya cukup senang membantu bila saya mampu. Kalau tidak, “I am sorry. I could not do anything.” Membantu semua orang yang sedang dalam kesusahan, apa pun agama, suku atau rasnya, adalah suatu kebahagiaan bagi saya. Bagi saya, cinta bukanlah soal mendapatkan sesuatu dari orang lain untuk kebahagiaan kita. Cinta adalah soal memberikan sesuatu untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian orang lain. Ia yang mampu memberi, menyejahterakan, membahagiakan dan mendamaikan adalah yang mencintai. Sejauh mana ia memberi, sejauh itu cintanya dapat diukur.

Kami berbicara panjang lebar soal Pak Manto. Pembicaraan tidak cukup sampai di situ. Kami juga bicara soal agama dan filsafat kehidupan. Kami saling bertukar pendapat. Saling memberikan informasi dan yang terpenting mencari suatu kesamaan untuk kemajuan bersama. Sekitar pukul 18.00, barulah pembicaraan kami berhenti. Kami sama-sama bahagia. Kami sama-sama senang: Hidup damai diantara multi-culture, multi-faith.

No comments: