Monday, April 24, 2006

Kiriman Ce Merry

Ce Merry, begitu saya biasa memanggilnya, adalah wanita dari Bone, Sulawesi Selatan yang selalu saya tuakan. Usianya yang lebih tua beberapa tahun dariku membuatku selalu salut, kagum dan selalu hormat padanya. Dia saya kenal pada Bulan Mei tahun 2003. Semenjak perkenalan itu kami selalu keep in touch satu sama lain. Pada akhir Maret 2006, ia jalan-jalan ke Kalimatan Selatan dan ia membawakanku oleh-oleh. Ini adalah oleh-olehnya dari Kalimatan Selatan:

Keren bukan? Luar biasa oleh-oleh sebesar ini dibawa dari Kalimantan Selatan ke Bone, Sulawesi Selatan. Lebih kerennya lagi oleh-oleh ini dibawa pakai pesawat (entah berapa ongkosnya. Untuk rincian lebih jelasnya tanya pak pilot). Dari Bone, baru dikirim ke Sri Lanka. Katanya, oleh-oleh yang berhidung lebar, bermata tajam, bertelinga kecil dan berbulu aneh ini, lagi kesepian, sendiri, lantaran hutan habis digundulin oleh para pengusaha. Thanks a lot Ce Merry oleh-olehnya. Kirimkan lebih banyak oleh-oleh buat Samanera di negeri seberang. Semoga Ce Merry selalu bahagia dan tertawa, jangan lupakan tawa khasnya, melihat page ini.

Nasib Orangutan



"Aku tahu kau ini orang Kalimantan Timur", begitu kata orangutan ini (kira-kira) saat saya mengambil gambarnya, "suatu propinsi yang hutannya selalu ijo royo-royo sepanjang tahun. Di sanalah dulu aku bisa bebas berkelana, tanpa arah, tanpa batasan. Aku bisa makan kapan pun aku mau. Aku bisa tidur di mana pun aku mau, di ranting, di dahan atau di pohon yang paling tinggi. Tapi, kini semua itu tinggal kenangan, impian belaka. Aku tak lagi bebas, aku terpenjara, terkurung di tempat yang sempit, makan dijatah, tempat tidur seadanya. Pohon-pohon pun telah lapuk, tiada berdaun. Oh manusia, manusia, mengapa kau kurung aku? Mengapa kau persempit ruang gerakku? Mengapa kau rampas kebebasanku?"


Anda saksikan dengan mata kepala Anda sendiri, bagaimanakah kondisi orang hutan ini? Tidakkah kata-kata di atas benar-benar tercermin di dalam wajahnya, yang tampak kusam, lesu dan penuh kesedihan? Kalau saja dia bisa bicara, kalau saja dia bisa protes, tentu dia akan ke gedung DPRRI, sambil membawa spanduk, untuk meminta DPRRI merancang undang-undang baru yang lebih jitu tentang perlindungan orangutan. Dia pasti akan ke kantor KOMNASHAM, untuk melaporkan hak-hak orangutan yang telah dirampas kebiadaban manusia. Dia dapat dipastikan akan melakukan demonstrasi di Bundaran HI, di depan Istana Presiden dan di tempat-tempat yang layak untuk melakukan demonstrasi. Dia tentu akan menuntut haknya: hidup bebas tanpa batas. Tapi sayang seribu sayang, orangutan adalah orangutan. Mereka tak mampu bicara untuk menyuarakan kepedihan hidup. Mereka tak mampu melakukan demonstrasi untuk menunjukkan ketidakadilan yang telah mereka dapatkan.


Manusia pun tak paham bahasa binatang. Manusia tidak mengerti perasaan binatang. Manusia buta gerak-gerik pikiran binatang yang selalu liar, liar dan liar menuntut kebabasan. Yang manusia ketahui hanyalah bagaimana memanfaatkan binatang semacam itu untuk medatangkan uang, uang dan uang. Untuk apakah mereka kita taruh di zoo kalau bukan untuk uang? Adakah alasan untuk untuk melestarikan, menyelamatkan dan mengembangbiakkan bila mereka kita penjara di zoo? Bukankah keberadaan mereka di zoo untuk mengundang masyarakat yang haus akan jenis-jenis binatang?


Tampaknya kita pun perlu merenung, perlu membayangkan: bagaimana seandainya kita dikurung di rumah yang sempit, ruang gerak kita dibatasi, makan dijatah, tempat tidur seadanya, dan diisolasi dari masyarakat oleh orangutan? Bagaimanakah perasan kita yang biasa hidup dengan hirup pikuknya kehidupan kota kemudian diisolasi di tengah hutan oleh binatang yang sering kita anggap tak berotak ini? Di mana pula kita akan menyimpan harga diri manakala orangutan menjelaskan kepada teman-temannya "Ini lho yang namanya manusia. Bentuknya juga hampir tidak ada bedanya dengan kita. Bedanya hanya, manusia itu rakus uang sendangkan kita ini hidup sederhana, makan seadanya."

“Food, sleep, fear and sex—these are common to beast and man. Their distinguishing characteristics are virtue. Those who are devoid of virtue, therefore, equal to beast.” Hitopadesa