Friday, March 30, 2007

Di Kaltim
18 November, 2006. Kami tiba di bandara Adisucipto 20 menit sebelum Pesawat Batavia Air diberangkatkan menuju Balikpapan. Di ruang tunggu, saya bertemu dengan beberapa orang. Salah satunya bercakap-cakap dengan saya. Ada juga seorang ibu yang tampak bingung. Ia menanyakan pesawat tujuan Balikpapan. “Tunggu di sini saja Bu. Saya juga akan menuju Balikpapan,” jawab saya saat ibu itu bertanya.

Seorang lelaki telah menduduki kursi di dekat jendela ketika saya tiba di dalam pesawat. Lelaki itu dari Poso. “Mas bhiksu Buddha ya?” tanyanya sebelum kami take off. Saya duduk di kursi tengah saat itu. Di sebelah saya, ada seorang wanita dari Palu. Dia membawa anak kecil berusia 13 bulan. Anak itu sudah pandai jalan tetapi belum fasih berbicara. Lelaki di samping saya minta permisi kepada pramugari untuk pindah ke kursi belakang. Kebetulan saat itu kursi itu kosong. Saya pindah ke dekat jendela. Kursi tengah digunakan untuk menaruh tas ibu itu.

“Wah, kok logat Jawanya belum hilang to Mas. Paman saya juga tinggal di Amerika cukup lama. Begitu pulang logatnya ya tetap sama. Tidak pernah berubah.” Selama dalam perjalanan kami bercakap-cakap soal agama dan tradisi. Di tengah perjalanan, anak ibu itu mabuk. Ia muntah-muntah. Baju ibunya jadi kotor. Ibu itu juga ikut mabuk. Dia juga muntah-muntah. Perut saya juga terasa tidak enak. Mau muntah juga rasanya. Sebenarnya saya tidak pernah mabuk selama dalam perjalanan. Kali itu juga tidak sampai muntuh-muntah. Sekedar tidak nyaman saja di perut.

Saya berkunjung ke Kalimantan Timur tujuannya untuk mengunjungi orangtua. Orangtua saya tinggal di Kota Bangun. Kakak dan adik saya juga tinggal di sana. Semua kakak dan adik saya telah menikah. Mereka juga sudah punya momongan.

Kami bukan asli orang Kalimantan Timur. Kami adalah orang Jawa. Tinggal di Kalimantan Timur sejak akhir tahun 1985. Kami tinggal di sebuah desa terpencil. Seluruh arah dikelilingi oleh hutan. Sebelah Timur, Utara, Barat maupun Selatan semuanya hutan. Layak juga dikatakan sebagai orang hutan karena kami tinggal di hutan. Dulu desa kami tak terjamah kendaraan. Mungkin hanya sebulan sekali kami meilhat kendaraan masuk ke desa kami. Kalau ada yang sakit, akan digotong sejauh berkilo-kilometer. Tidak jarang yang digotong meninggal di tengah jalan. Orang itu digotong kembali ke kampung dengan cucuran air mata dan juga keringat. Saya masih ingat bagaimana bapak digotong ke rumah sakit. Ia ditaruh di atas kursi. Kursi itu di gotong empat orang. Berapa jauh kami harus menggotong orang sakit untuk mendaptkan kendaraan? Tidak jauh. Hanya empat kilometer. Setelah itu, barulah kami naik perahu ketinting. Sekarang semuanya sudha berubah. Tidak perlu lagi menggotong orang sakit. Kendaraan cukup banyak. Jalan juga sudah baik.

Selama menjadi samanera, saya telah mengunjungi kampung halaman sebanyak dua kali. Pertama, pada Bulan Agustus 2002. Saat itu, hanya dua jam. Kedua, pada bulan Oktober 2003. Saya sempat di rumah selama beberapa hari saat itu. Kali ini adalah yang ketiga kalinya. Saya juga tidak punya waktu yang lama: Hanya empat hari. Senin pagi, 20 November, 2006, jam 10.30 WITA, saya sampai di rumah. Ibu, bapak, adik dan kakak ipar sudah bersiap di rumah. Kali ini bapak tampak biasa saja. Ia tidak menangis. Biasanya kalau lama tidak bertemu dengan anak, ia akan menangis. Ibu lebih biasa tegar.

Kesan pertama yang saya tangkap ketika menginjakkan kembali di desa Sumbersari, yang juga dikenal dengan SP IV ini, adalah panas dan gersang. Kemarau panjang masih tetap melanda daerah itu. Hujan belum juga turun. Para petani masih belum dapat menggarap sawah dan ladang mereka. Hanya sawah kakak, bapak dan satu lagi milik tetangga yang berair saat itu. Yang lainnya tampak kering kerontang. Tanah menjadi pecah. Mendapatkan air bersih juga cukup sulit. Masyarakat di desa Sumbersari harus antri untuk mendapatkan air bersih. Syukurlah, air dari gunung Tinjauan tetap mau menghidupi masyarakat. Air itu tetap mengalir meskipun kecil. Rumah orangtua saya berada di dataran tinggi. Di depan rumah ada bak penampungan air yang cukup besar. Setiap saat kakak membantu mengisikan jerigen dan ember yang ditinggalkan oleh pemiliknya di samping rumahnya.

“Wah, ini Sentot ya?” tanya Pak Agus, Kepala Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 4 Kota Bangun. Nama Aslinya adalah Agus Setia Utama. Beliau berasal dari Blitar, Jawa Timur. Badannya tinggi dan cukup besar untuk ukuran orang Indonesia. Kumisnya tipis, tetap seperti dulu. Dulu, ia adalah kepala sekolah di SMP Negeri 4 Kota Bangun, SP VI. Beberapa tahun silam, ia dipindah sebagai kepala Sekolah di SMPN 4 Kota Bangun, SP II. Beliau menjabat tangan saya erat-erat. Wajahnya tampak sumringah, bahagia. Dia mengajak saya ke ruang tamu.

Siang itu, saya sengaja menemuinya. Sudah lama kami tidak bertemu. Mungkin lebih dari enam tahun, kami tidak bersua. Sudah cukup lama ia berpesan kepada kakak agar ketika saya pulang dapat menemuinya. Hari Senin itu juga, saat telah selesai makan siang, saya mengunjunginya. Bhante Adikusalo dan kakak bersama anaknya ikut serta. Kami mengunjunginya di sekolahan. Sekolahannya agak sedikit kotor dan tidak terawat. Udara tidak kalah panasnya dengan di desa saya, Sumbersari. Bhante Adikusalo tampak berkeringat. Jubahnya basah. Pak Agus tampak biasa. Ia tidak berkeringat. Mungkin sudah terbiasa.

Bhante Adikusalo lebih banyak diam. Dia tidak banyak bicara. Saya dan Pak Agus asyik berbincang-bincang. Kadang saya yang bertanya, kadang Pak Agus yang bertanya. Saya tanyakan guru-guru yang pernah mendidik saya. “Pak Muhamad Ali sudah menjadi kepala sekolah di Tabang. Pak Syaiful Anwar juga menjadi kepala sekolah. Hanya Pak Mahmudi yang masih tinggal di sana. Pak Saililah dan Pak Ardiansyah juga masih tetap mengajar di sana. Yang lainnya, sudah pindah ke tempat lain.” Pak Agus siang itu menjelaskan banyak hal. Teman-teman yang masih saya ingat saya sebutkan namanya. Sebagian Pak Agus tahu dimana mereka berada. Ia juga tahu apa yang mereka lakukan. Sebagian tentu Pak Agus tidak mengetahuinya.

Pak Agus juga memanggil putranya yang kedua, Agung. Agung sudah duduk di kelas dua SMP. Ketika saya telah meninggalkan SP VI, dia belum sekolah. Saat ditanya Pak Agus, “Apa kamu kenal dengan dia?” Agung menjawab tidak. “Ya, orangnya yang filmnya selalu kamu tonton.” Beberapa waktu yang silam, saya memang mengirimkan foto-foto saya dalam bentuk CD kepada beberapa teman, termasuk Pak Agus. Isinya adalah kegiatan saya selama berada di Sri Lanka. Pramono saat itu juga diundang. Ia adalah anak Mas Paulus, satu dengan dengan saya. Dia juga tidak mengenali saya tetapi mengenali kakak dengan baik.

Sebagai kepala sekolah, Pak Agus adalah orang yang memiliki disiplin tinggi. Sebenarnya, ia tidak ingin menjadi guru. Cita-citanya adalah menjadi tentara. Ayah dan semua saudaranya menjadi tentara. Namun sayang, ketika ia mendaftarkan diri menjadi tentara tidak diterima karena badannya yang terlalu kecil saat itu. Setiap hari, ia selalu datang lebih awal dari guru-guru yang lain. Tidak jarang, ia datang sebelum murid-murid datang. Pak Agus lebih memilih berjalan kaki saat berangkat ke sekolah. Selama tahun kedua dan tahun ketiga, saya diberi tugas untuk piket di kantor. Menyapu seluruh ruangan, mencuci gelas, membersihkan asbak puntung rokok adalah tugas utama bagi yang piket di kantor. “Kalau nyapu, jangan buka-buka buku daftar nilai,” pesan Pak Agus ketika saya sedang menyapu. Ketika sedang berada di tempat, Pak Agus sering minta saya untuk membersihkan ruangan pribadinya. Saya agak gerogi. Ada perasaan takut. Juga ada perasaan kuatir. Takut dan kuatir kalau dianggap macam-macam di ruangan itu.

Pak Agus tidak angkuh, juga tidak sombong. Beliau cukup akrab dengan murid-murid. Hampir semua murid-murid beliau kenal dengan baik, tak terkecuali saya dan kakak. Hanya saja, Pak Agus tidak tahu nama asli saya: Sasminto. Beliau lebih mengenal nick-name saya: Sentot. Di kampung, di sekolah atau di desa sebelah, umumnya orang lebih mengenal nick-name saya ketimbang nama asli saya. Saya biarkan Pak Agus memanggil menggunakan nick-name saya ketika bertemu. Saya juga tidak menganjurkan, seharusnya ia memanggil saya Samanera karena dia tidak bertanya.

Walaupun staf pengajar cukup, beliau tidak mau tinggal diam di kantor. Dia tidak ingin hanya menandatangani berkas-berkas yang sampai di mejanya. Ia juga turut mengajar. Ia suka mengajarkan Fisika. Saat di SP VI dan di tempat yang sekarang ini, ia tetap memilih mengajarkan Fisika. “Saya tidak mau sekedar santai di kantor sambil menandatangi berkas-berkas yang ada.”

Pak Agus juga memperkenalkan saya kepada staf pengajar yang ada di SLTP 4. Mereka semua tidak saya kenal. Saya juga tidak ingat namanya. Hanya ada beberapa staf saat itu. Mungkin yang lain sedang mengajar. “Ini adiknya Pak Karnawi. Dulu, dia adalah murid saya waktu di SP VI.” Mereka umumnya kenal kakak saya: Mas Kasnawi. Mas Wi, demikian ia biasa kami panggil, lulus SLTP di sekolah ini.

Siang itu, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Pak Lurah. Namanya, Pak Rokhani. Sudah beberapa periode ia dipilih. Kata kakak, dia tidak mau dipilih lagi. Kakak tinggal di rumahnya selama beberapa tahun waktu ia sedang belajar di SLTPN 5. Pak Lurah punya dua putri. Mbak Titin sudah menjadi perawat dan Mbak Dian sedang duduk di semester pertama di sebuah AKPER di Kudus, Jawa Tengah. Sudah lama saya tidak bertemu dengan mereka. Seingat saya, terakhir kali bertemu dengan mereka sebelum tahun 1990-an. Kalau saya tidak salah ingat, Mbak Titin sudah masuk SD dan Mbak Dian baru mulai belajar berdiri.

Pak Lurah tidak terlalu banyak bicara, tetapi ibu cukup berbeda. Saya senang geguyon dengannya. Bu Lurah berbicara dengan “Bahasa Jepang” ngoko. Dengan kemampuan seadanya, saya berusaha menjawab dengan “Bahasa Belanda” kromo inggil. Itu pun terbata-bata. “Tenan lo Le, ojo lali karo wongtuane. Ngendi wae sobo parane tetap paring kabar.” “Ampun kuatir, Bu,” sahut saya saat pamitan pulang.