Friday, March 30, 2007

Di Mendut, Magelang, Jawa Tengah

15 November, 2006. Sehabis makan siang, kami langsung berpamitan kepada Bhante Viriyadharo dan Bhante Dhiranando yang baru saja tiba dari Jakarta. Kami akan melanjutkan perjalanan menuju Vihara Mendut. Vihara ini terletak bersebelahan dengan Candi Mendut. Biasanya, mobil-mobil para pengunjung Candi Mendut diparkir di depan Vihara Mendut. Tak jarang para pengunjung Candi Mendut, juga menyempatkan diri untuk mengunjungi Vihara Mendut. Banyak orang yang lebih tertarik dengan Vihara Mendut karena vihara ini tampak lebih rapi dan lebih bersih bila dibandingkan dengan pelataran dan taman Candi Mendut.

Kami berangkat ke Bandara Juanda, Surabaya dengan diantarkan oleh Mas Mugiyo dan Mas Sukit sebagai sopirnya. Sebenarnya pesawat akan berangkat pada pukul 18.40 WIB. Kami berangkat lebih awal sebab kuatir jalan macet. Saat itu entah sekarang, di daerah Porong terjadi kemacetan karena luapan lumpur panas. Dugaan ternyata tidak meleset. Jalan benar-benar macet. Kemacetan sudah terjadi sejak di Pandaan. Sesampainya di persimpangan menuju jalan tol, kendaraan ke arah jalan tol tampak lancar. Sopir tampak tidak sabar. Setelah cukup lama berada dalam kendaraan yang bergerak cukup lamban itu, kami putar haluan. Kami mencoba untuk berspekulasi. Jalan benar-benar lancar. Apakah benar bagitu? Ternyata tidak. Setelah sampai di dekat jalan tol, terdapat tulisan “Maaf jalan ditutup. Hanya dibuka untuk kendaraan Lapindo.” Kami kembali lagi. Wah kini benar-benar jauh. Seharusnya kami sudah berada di barisan terdepan. Kini berada di barisan paling belakang. Kami agak sedikit tegang. Kuatir telat.

Mengendarai di tengah-tengah kemacetan perlu kesabaran yang tinggi. Tidak boleh main serobot begitu saja. Dalam kondisi seperti itu, kecerobohan akan berakibat fatal. Terlebih lagi saya melihat sopir-sopir Indonesia daya solidaritas terhadap pengguna jalan lainnya tampak kurang. Benar-benar berbeda dengan di Sri Lanka. Di Sri Lanka, solidaritas para sopir cukup tinggi. Mereka menghormati pengguna jalan yang lain. Tidak hanya manusia yang dihormati. Kalau ada sapi, kerbau, anjing, kambing atau binatang lainnya sedang menyebrang jalan, binatang-binatang itu akan diberi kesempatan yang sama seperti manusia. Terlebih lagi kalau yang menyebrang jalan adalah manusia. Pasti akan lebih dihormati.

Lumpur yang tak mampu dikendalikan luapannya itu, terasa menyengat. Benar-benar tidak sedap. Saat kami melalui daerah tersebut, tampak beberapa petugas tampak berjalan di atas tanggul. Sebuah desa di dekat bendungan itu tampak tenggelam oleh lumpur. Semua tanaman tampak mengering. Semuanya mati dan desa itu telah ditinggalkan penduduknya.

Kami segera check-in sesampainya di bandara. Saya dan Mas Mugiyo menunggu di luar. Samanera Santacitto dan Mas Sukit yang masuk untuk check-in. setelah semua urusan beres kami segera naik ke lantai atas dimana ruang tunggu terdapat. Kami akan boarding melalui gate 3. Lion Air adalah yang akan mengangkut kami ke Yogyakarta.

Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 18.40. Pesawat Lion belum juga mendarat. Tidak lama kemudian terdengar pengumuman, pesawat Lion Air tujuan Yogyakarta ditunda satu jam keberangkatannya. Saya tidak mengerti mengapa Lion Air sering menunda jam keberangkatan. Waktu saya akan meninggalkan Balikpapan menuju Jakarta juga ditunda satu jam. Penundaan semacam itu menurut keterangan dari berbagai sumber tidak hanya satu atau dua kali. Katanya, cukup sering. Kalau selalu begitu, dapat merugikan penumpang. Bagaimana dengan penumpang yang memiliki short time transit?

*******

Udara di Vihara Mendut benar-benar menyenangkan. Terasa sejuk sepanjang musim. Di musim panas, udara tidak begitu panas. Justru sangat dingin terutama pada Bulan Juli dan Agustus. Suasana di Vihara Mendut terang sangat asri, menyejukkan batin. Ada beberapa bangunan di vihara ini: Kuti, Gedung Serbaguna, Dhammasala, Kuti tamu dan beberapa bangunan lainnya. Saat memasuki vihara ini, kita akan menemukan stupa-stupa kecil terbuat dari batu putih. Begitu kita manatap ke depan, ada sebuah stupa utama terbuat dari batu hitam. Di stupa inilah terdapat sehelai rambut Sang Buddha. Tidak jauh dari stupa ini ada sebuah patung Sang Buddha model Jepang. Patung ini dipersembahkan oleh sahabat Bhante Pannavaro dari Jepang. Ini adalah patung kuno. Lima tahun yang silam patung ini belum ada. Ada juga beberapa bangunan baru yang baru saja dibuat belakangan.

Di vihara ini, ada sebuah lembaga pendidikan yang disebut Lembaga Pendidikan Sangha. Biasa disingkat LPS. Pada tahun 2001, kami berdua dididik di vihara ini selama setahun. Saat pertama kali masuk ada tujuh mahasiswa semuanya. Belakangan tinggal kami berdua. Ada beberapa dosen yang mengajar saat itu. Bhante Jotidhammo sebagai kepala lembaga. Bhante Cittagutto dan Samanera Indasilo adalah staf pengajarnya. Pak Sunaryo adalah guru Bahasa Indonesia. Beliau juga mengajar di Seminari Mertoyudan. Guru Bahasa Inggris kami adalah Pak Darmantiyo. Selain itu, juga ada guru Agama Kristen, Katolik dan Islam untuk pelajaran perbandingan agama. Kami juga mempelajari Agama Hindu, Konghucu dan Tao. Tujuan kami mempelajari ajaran agama lain adalah untuk setidaknya kami tidak buta akan ajaran agama lain.

16 November, 2006. Setelah makan pagi, kami bertemu dengan Intan. Dia adalah sahabat Divyani Ishvari. Divyani Ishvari kini juga sedang mendalami Agama Buddha di Sri Lanka. Ia sedang duduk di tahun pertama. Selama kuliah, ia memilih menjadi samaneri. Suami Divyani Ishvari, Pak Agus Handoko, juga datang. Kepada kami, ia berpesan untuk selalu memberikan nasehat kepada istrinya agar istrinya menjadi lebih baik. Kami juga saling bertukar pengetahuan soal Divyani Ishvari. Apa yang kami ceritakan dan apa yang diceritakan oleh Pak Agus boleh dibilang tidak ada bedanya.

“Samanera sudah siap belum?” tanya Bhante Jotidhammo saat kami sedang asyik berbincang dengan Pak Agus. Segera kami bersiap menuju Candi Borobudur. Pagi itu, kami mengunjungi Candi Borobudur dengan ditemani oleh dua samanera yang saat itu sedang belajar di Vihara Mendut. Mas Widiyono juga turut menemani.

Sudah cukup lama tidak turun hujan di Indonesia. Udara di sekitar Candi Mendut dan Vihara Mendut benar-benar berbeda. Selain terasa gersang, udara di sekitar Candi Borobudur terasa sangat panas. Mungkin salah satu sebabnya adalah kurangnya pepohonan yang ditanam di sekitar candi itu. Kami berjalan mengelilingi Candi Borobudur. Sesekali kami ambil gambar. Samanera Santacitto, saya dan Mas Widiyono bergantian jadi fotograper. Kami cukup puas mengelilingi Candi, melihat-lihat gambar-gambar yang ada dan menyocokkannya dengan cerita yang pernah kami ketahui. Kami dapat bergerak dengan leluasa. Saat itu, tidak banyak pengunjung.

Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan diri membeli souvenir untuk oleh-oleh ke Sri Lanka. Kami juga mampir ke warung untuk minum es campur. Semua yang membayari adalah Mas Widiyono. Sejak saya mengenal Mas Widiyono, ia memang terasa cukup dermawan. Ia selalu membari saat ia punya.

Sore harinya, kami mengunjungi Kopeng. Di sana ada sebuah Sekolah Tinggi Agama Buddha. Namanya Syailendra. Sekolah ini didirikan lima tahun belakangan ini. Kampusnya cukup kecil, tetapi cukup untuk belajar. Ada aula. Di aula ini terdapat seperangkat gamelan. Ruang dosen, ruang komputer dan perpustakaan yang relatif kecil. Buku-bukunya belum banyak. Masih cukup memprihatinkan isinya dan jauh untuk dikatakan cukup memadai. Bila dibandingkan isinya, perpustakaan Vihara Mendut masih lebih baik.

Mas Bram, begitu biasanya kami memanggil dan saya juga tidak tahu siapa nama sebenarnya, bertindak sebagai kepala sekolah. Ia mempersilakan kami untuk beristirahat di tamu. Kami berdua diwawancarai untuk keperluan Buletin Syailendra. Kami sebenarnya bukan orang penting. Juga belum layak untuk diwawancarai untuk keperluan semacam itu. Saat wawancara selesai, kami berbincang-bincang dengan Mas Bram, Was Widiyono tentang pendidikan di Indonesia. Dalam pandangan kami, dosen-dosen di Indonesia tidak memiliki kebebasan dalam mengajar. Mereka harus mengikuti kurikulum dari pusat. Apa yang telah ditentukan oleh pusat itulah yang harus kita ajarkan. Padahal, belum tentu penyusun kurikulum mengetahui dengan jelas kurikulum yang ia susun. Mungkin juga semua universitas di Indonesia mempunyai metode yang sama: Mengikuti kurikulum dari pusat. Hal ini tentu sangat berbeda dengan universitas di Sri Lanka. Kami mendefinisikan universitas sebagai “An independent institution of education.” Keberadaannya benar-benar berbeda dengan sekolah dasar atau menengah. Dosen memiliki kebebasan dalam mengajarkan apa yang ia miliki.

17 November, 2006. Pagi itu, kami menghadap Bhante Pannavaro. Beliau menanyakan tentang kehidupan kami di Sri Lanka. Selain mendengarkan cerita kami, beliau juga memberikan nasehat yang cukup panjang. Nasehat itu tujuannya tidak lain adalah agar kami berdua mampu bertahan sebagai samana. Beliau juga menghadiahkan dua buah buku dengan judul “The Danger of I.” Buku itu satu, untuk Samanera Santacitto dan satu untuk saya. Sebenarnya Bhante Pannavaro juga menawari saya untuk berkunjung ke Solo. Tetapi, saya enggan untuk ke sana. Saya lebih memilih untuk beristirahat. Lagi pula, jarak Mendut ke Solo cukup jauh. Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk menjangkau kota itu.

No comments: