Monday, December 11, 2006

Di Jakarta #2

Sabtu, 11 November, 2006. Setiap pagi, sehabis makan pagi, Bhante Cittagutto selalu mengumumkan kegiatan untuk hari itu. Hari itu, kegiatan kami adalah acara potong tumpeng pada siang hari dan kebaktian pada sore harinya. Acara potong tumpeng akan diselenggarakan pada pukul 10.00 WIB dan kebaktian dilaksanakan pada pukul 17.00 WIB. Para bhikkhu dan Samanera diharapkan telah siap di ruang tamu sebelum acara dimulai.

Para bhikkhu menuju raung makan dalam posisi berbaris secara rapi. Yang paling depan adalah bhikkhu yang paling senior. Selanjutnya adalah yang lebih yunior. Kami adalah yang paling yunior. Saya sendiri yang paling muda dalam barisan itu. Umat-umat tampak bersikap anjali di sepanjang jalan menuju ruang makan, yang saat itu dipusatkan di Ruang Narada.

Sebuah tumpeng dan kue tar diletakakan di tengah ruangan. Banyak udang tampak sedang merambat medaki ke puncak tumpeng. Awalnya, saya tidak memperhatikan hal itu. Saya pun tidak tahu secara persis bagaimana bentuk tumpeng dan isinya. Setelah duduk, Samanera Santacitto berbisik kepada saya soal udang itu. Kami saling mengeluarkan uneg-uneg tentang udang-udang yang sedang merambat itu. Kami bicara dengan geguyon. Tentu tidak boleh keras-keras bicaranya. Kami sebagai yunior harus diam dan menghormati para senior.

Tumpeng ini dikhususkan untuk STI dan kue tar adalah untuk MAGABUDI yang saat itu juga genap berusia tigapuluh tahun. Tulisan HUT KE-30 STI & MAGABUDI tampak tidak sempurna. Sebenarnya tulisan itu sudah rontok sejak sehari sebelumnya. Namun, tidak ada orang yang memperdulikannya. Tidak ada orang yang mau memasang kembali tulisan itu. Bhante Saddhaviro, Pak Surya Widya, Bu Mettasari memberikan kata sambutan. Masing-masing mewakili STI, MAGABUDI dan ketua panitia.

Kebaktian dimulai pukul tujuhbelas lewat. Ada beberapa bhikkhu tamu dari Thailand. Mereka sengaja diundang karena telah berjasa membantu perkembangan umat Buddha di Indonesia. Yang memberikan ceramah adalah Bhante Pannavaro. Beliau adalah penceramah terbaik yang kami miliki. Cukup terkenal baik di dalam maupun di luar negeri, tentu di kalangan umat Buddha. Banyak yang beliau sampaikan. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan cerita bagaimana berdirinya STI. STI perlu menapaki kerikil-kerikil tajam nan cukup berbahaya. Mereka sangat tajam. Setiap saat, dapat melukai. Tetapi, syukurlah STI tetap maju dan bertahan hingga berusia 30 tahun. Di sela-sela ceramah itu, beliau juga mengharapkan kami berdua untuk terus bertahan dan maju. Dengan kata lain, beliau, secara pribadi, tidak menginginkan kami berdua untuk meninggalkan kehidupan monastik.

Sore itu, cukup banyak umat yang turut hadir dalam acara tersebut. Hanya saja, jangan tanyakan jumlahnya! Saya tidak sempat menghitungnya saat itu. Mereka berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan. Hanya itu yang saya tahu. Mungkin juga ada yang dari Bali dan daerah lainnya.

Selesai acara, saya sempat bertemu dengan Suzana Hermawan untuk beberapa saat. Dia biasa dipanggil Suzan. Dia adalah wakil pimpinan redaksi Majalah Dhammacakka. Kami berkenalan pada pertengahan tahun 2003. Saat itu, dia mengikuti program Silacarani selama dua minggu. Kebetulan, saya turut membantu pelaksanaan program tersebut. Ada lima wanita yang turut berpartisipasi dalam program tersebut. Mereka adalah Bu Ie Tjen, Meviana Chandra—saya biasa memanggilnya Ce Mery dan Suzana Hermawan. Hubungan saya dengan mereka tetap berlanjut setelah program selesai hingga kini. Yang dua saya sudah lupa namanya. Kami pun tidak pernah bertemu maupun saling kontak. Mereka berasal dari Lasem, Jawa Tengah.

Saat sulit menghubungi Bhante Cittagutto, bhikkhu yang bertanggung jawab atas kesejahteraan kami selama di Sri Lanka, kami akan menghubungi Bu Ie Tjen. Kami akan minta bantuannya untuk menghubungi Bhante Cittagutto. Hubungan saya dengan Ce Merry biasa-biasa saja. Tidak ada yang minta bantuan atau pun yang dimintai bantuan, tetapi mungkin yang paling akrab diantara ketiganya. Hubungan saya dengannya seperti adik dan kakak. Saya cukup menghormatinya karena faktor usia dan juga kedewasaannya dalam berpikir maupun dalam emosi. Dengan Suzan, hubungan saya cukup baik karena sebagai staf redaksi Majalah Dhammacakka, dia sering menghubungi saya kalau lagi butuh artikel. Saya bantu semampunya. Saya tulis artikel sesuai dengan pesanan. Kalau lagi sibuk, tentu saya akan menolak permintaan itu.

“Kamu kurus sekali sekarang,” kata saya dengan polos saat bertemu dengan Suzan. Saya melihat adanya suatu perbedaan yang mencolok. Suzan kini benar-benar kurus. Berbeda dengan tiga tahun yang silam. Belakangan saya tahu dia sengaja diet. Mungkin biar tampak langsing. Dia akan menikah bulan Desember ini. Dia perkenalkan calon suaminya kepada saya di suatu sore. Baru sekali itu saya bertemu dengannya. Tentu saya turut bahagia dia menikah. Hanya pesan saya, jangan lupa mengurusin majalah kalau sudah mengurusin suami. (semoga saja Suzan membaca tulisan ini).

Puncak acara dilaksanakan pada hari Minggu. Acaranya tidak dilaksanakan di vihara. Tetapi, dipusatkan di tempat pameran. Kami berdua merasa masih capek. Kami enggan untuk bergabung dalam acara tersebut. Kami berdua lebih memilih untuk istirahat. Ya, kami tidur dengan pulas siang itu. Selain itu, kami telah sepakat: Kalau saya tidak melakukan, Samanera Santacitto tidak akan melakukan. Kalau Samanera Santacitto tidak melakukan, saya juga tidak akan melakukan. Kami sepakat untuk selalu pergi bersama-sama, melakukan sesuatu secara bersama-sama selama berada di Indonesia.

No comments: