Monday, December 11, 2006

Oooooh Jakarta, Jakarta

Selama berada di Jakarta, kami berdua mendapatkan pengamalan luar biasa. Pengalaman itu tidak pernah kami dapatkan selama 3 tahun tinggal di Sri Lanka. Pengalaman apa itu? Terjadi power-cut, saat kami sedang membutuhkan listrik mungkin hal biasa. Meski tidak terlalu sering, kami juga beberapa kali mengalaminya. Saat hujan, lebih sering terjadi power-cut. Itu pun tidak terlalu lama. Mungkin hanya beberapa menit. Karena itu kalau di Jakarta kami mengalami power-cut, itu adalah hal yang biasa. Tidak terlalu mengejutkan. Bagaimana dengan air PDAM yang macet? Itu yang benar-benar merepotkan.

Seperti biasanya, kami mandi di pagi hari. Tentu kami tidak terlalu memikirkan soal air macet terlalu serius, walau pemikiran seperti itu ada. Saya hidupkan kran. Dengan santai, saya basahi seluruh badan dengan air yang sedang mengalir. Beberapa saat kemudian air saya stop. Saya ambil sabun cair yang memang sudah saya persiapkan. Tak butuh waktu lama untuk membuat seluruh tubuh saya penuh dengan busa. Seluruh tubuh benar-benar penuh dengan busa. Saya bersihkan bagian-bagian tubuh yang saya anggap kotor. Saya gosok bagian-bagian yang menjadi sarang daki. “Ah, sudah bersih. Tidak ada lagi daki yang melekat,” guman saya dalam hati. Berlahan-lahan saya putar kran. Air mengalir tetapi sedikit demi sedikit semakin mengecil dan akhirnya mati. Saya mengumpat dalam hati. “Ciloko tenan nek ngenekuwi carane.” Air macet saat tubuh masih belum bersih. Busa masih menempel di sana sini. Terpaksa, karena tidak ada cara lain, saya bersihkan tubuh dengan air seadanya. Saya pergunakan air yang masih menetes kecil untuk membersihkan busa.

“Coba saya cek di kamar mandi satunya,” kata Samanera Santacitto setelah saya beritahu air sedang macet. Air masih mengalir cukup kuat. Dia mandi. “Wah, saya juga mendapatkan pengalaman yang sama,” serunya setelah keluar dari kamar mandi. Airnya juga macet saat badannya masih penuh dengan busa.

Di Sri Lanka, kami tidak pernah mengalaminya. Air selalu megalir selama 24 jam nonstop. Selama tiga tahun kami berada di Sri Lanka, tidak pernah ada cerita air macet. Mau mandi sehari 24 kali juga boleh. Tidak ada yang melarang. Air juga tidak akan surut. Pemerintah juga tidak akan menegur karena pemborosan air. Mengapa bisa begitu? Karena kami selau mandi di sumur untuk vihara yang baru. Di vihara lama, kami memang mandi pakai air PDAM. Tetapi, tidak pernah macet. Air selalu mengalir selama 24 jam. Mau mandi tengah malam, tengah pagi, tengah siang atau mau tengah sore tidak masalah. Tidak perlu memikirkan air macet.

Sekarang ini, kami tinggal di Kota Kiribathgoda. Vihara kami hanya sekitar 20 meter dari jalan raya. Kota Kiribathgoda masih termasuk Great Colombo. Batas Great Colombo adalah Kota Kadawatta, sebuah kota yang agak jauh dari Kota Kiribathgoda. Vihara kami, juga menggunakan air PDAM. Tetapi, air itu hanya untuk keperluan nyiram bunga dan kamar kecil, bukan untuk mandi. Untuk mandi, kami lebih memilih menggunakan air sumur. Alasannya, lebih bersih dan lebih segar kendati Kota Kiribathgoda hanya lima meter dari permukaan laut. Juga tidak jauh dari laut. Kita hanya butuh waktu setengah jam dengan menggunakan bus untuk mencapai pantai.

Kami harus menimba pagi dan sore kalau mau mandi. Sumur kami tidak terlalu dalam. Kalau di musim hujan seperti sekarang, airnya penuh. Satu atau dua kali tarik sudah cukup. Kalau sedang musim kemarau, airnya memang agak dalam. Hanya saja, sumur kami tidak pernah kering. Kami terbiasa menggunakan air alami saat mandi. Hasilnya, benar-benar menyegarkan dan badan pun terasa bersih. Begitu saya mandi di Jakarta, apa yang terjadi? Bukan rasa bersih dan segar yang saya rasakan. Justru, badan jadi gatal dan kulit terasa kaku. Muka terasa tebal. Kulit minta digaruk berulangkali. Ini bukan mandi untuk menyegarkan tapi mandi untuk menyebalkan.

Mengapa orang Jakarta bisa hidup dengan air seperti itu? Apa Pak Presiden, para menteri, anggota parlemen tidak merasakan apa yang saya rasakan? Bagaimana dengan para artis dan peragawati yang kulitnya tampak mulus? Bagaimana dengan para budayawan, rohaniwan, intelektualis maupun jurnalis?

1 comment:

Unknown said...

Saya tuh nyari alamat Dhammadipa Arama di Malang tapi kog sama google diajak nyasar kesini LOL