Monday, December 11, 2006

Di Malang

Tujuan kami pulang ke Indonesia hanya untuk mengunjungi Candi Borobudur dan orangtua kami. Oleh Bhante Cittagutto, kami diminta untuk mengunjungi Dhammadipa Arama. Vihara ini terdapat di Malang, Jawa Timur. Di vihara inilah kami ditahbiskan menjadi samanera. Kami ditahbiskan pada tanggal 26 November, 2000. Kami tidak tahu secara persis apa tujuannya diminta untuk mengunjungi vihara ini. Mungkin untuk mengunjungi tempat penahbisan, sekaligus melihat kampus Kertarajasa dan kegiatan perkuliahan yang ada di Sekolah Tinggi Agama Buddha ini.

Pukul enam lewat, kami meninggalkan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya menuju Bandara Seokarno-Hatta. Ada tiga bhikkhu dan kami berdua dalam kendaraan itu. Bhante Pannavaro dan Bhante Jotidhammo berangkat ke Mendut. Mereka berangkat dari terminal dua. Bhante Viriyadharo dan kami berdua berangkat ke Malang. Kami berangkat dari terminal satu. Sri Wijaya Airlines adalah pesawat yang kami tumpangi. Sepertinya ini adalah maskapai penerbangan baru. Tiga tahun yang silam ketika masih berada di Indonesia, saya belum pernah mendengarkan nama maskapai penerbangan itu. Atau, saya mungkin ketinggalan informasi.

Kami sampai di Malang agak sedikit terlambat dari yang dijadwalkan karena memang pesawatnya berangkat agak lambat. Padahal, sopir sudah menunggu di bandara sejak pukul tujuh. Sopirnya, Mas Bison. Entah siapa nama lengkapnya. Kami biasa memanggilnya begitu. Dia berasal dari Boro, Blitar, Jawa Timur. Saya sudah mengenalnya sejak pertengahan tahun 2002. Waktu itu, saya ditugaskan di Blitar. Ia bekerja di vihara dan masih pacaran dengan Mbak Sumedha. Kini, mereka sudah menikah dan sudah punya momongan satu.

Udara di Dhammadipa Arama cukup panas di siang hari, tapi dingin luar biasa di malam hari, terlebih lagi di musim panas. Vihara ini terletak di desa Mojorejo, Kota Administratif Batu. Ada sebuah replika Swedagon Pagoda di vihara ini. Ada museum. Ada perpustakaan. Sayang sekali, buku-bukunya masih belum begitu banyak. Umumnya, masih didominasi oleh buku-buku lokal. Vihara ini dulu pernah dibom. Kerusakan memang tidak terlalu berat. Kini, dipasang empat kamera untuk memonitor aktivitas yang berlangsung di vihara yang cukup luas itu. “Sekedar untuk mengantisipasi kemungkinan yang bakal terjadi saja,” kata Bhante Viriyadharo.

Hanya dua bhikkhu yang tinggal di vihara ini: Bhante Khantidharo dan Bhante Viriyadharo. Bhante Khantidharo menjabat sebagai kepala vihara. Beliau sudah cukup sepuh. Kalau saya tidak salah beliau sudah berusia 77 tahun. Selain sebagai kepala vihara, beliau juga sebagai guru meditasi. Saya sangat senang dengan cara beliau mengajar. Beliau sangat pandai memotivasi murid-murid beliau agar tetap terus maju. Beliau akan mencambuk dengan kata-kata yang penuh motivasi di saat murid-muridnya tampak kendur. “Bagus,” puji beliau saat kita sedang sukses dalam meditasi.

Bhante Viriyadharo berasal dari Banyuwangi. Saya pernah berkunjung ke desanya sekali. Bersama Bhante Khantidharo beliau pernah belajar meditasi di Burma. Bhante Viriyadharo adalah bhikkhu yang sabar. Beliau tahan menghadapi berbagai macam penderitaan. Tahan menghadapi kritikan maupun celaan. Banyak orang yang memuji kesabarannya. Pengalaman meditasinya sangat bagus, layak dijadikan suritauladan dan panutan bagi mereka yang ingin menapaki kehidupan spiritual.

Bhante Viriyadharo adalah bhikkhu yang sangat humoris. Banyak orang tertawa terpingkal-pingkal karena humornya. Banyak cerita-cerita lucu yang menyegarkan pikiran beliau berikan. Tentu saja, lelucon itu lebih banyak mengarah pada kemajuan spiritual. Gaya beliau hampir tidak ada bedanya dengan Mr. Sanath Kumara Nanayakkara. Saat berkumpul dengan kami, beliau senang bercanda. Namun, canda yang bermanfaat bagi perkembangan intelektual. “Bisa minta bantuan Samanera?” tanya Bhante Viriyadharo kepada saya pada sore hari. “Bisa, Bhante kalau saya bisa melakukannya,” jawab saya. Sore itu, kami berangkat ke rumah dukkha. Ada umat yang meninggal dunia. Kami diminta hadir untuk membaca paritta.

Setelah makan siang, Supiro dan Putu datang menemui saya. Mereka, kini, sedang duduk di semester tujuh. Supiro berasal dari Kalimantan Barat. Sedangkan, Putu berasal dari Sulawesi Tenggara. Saya belum pernah berkunjung ke Kalimantan Barat tempat tinggal Supiro. Tetapi, saya pernah tinggal selama beberapa hari di desa Putu, di Sulawesi Tenggara. Umat-umatnya tidak begitu banyak di desanya. Namun, rasa bhakti mereka sungguh sangat mengagumkan. Mereka sangat senang kalau ada bhikkhu atau samanera yang mengunjungi mereka. Setiap hari selalu ada yang menemani di vihara. Desanya masih sangat alami. Banyak orang yang pelihara babi di desa ini. Babi-babi itu tidak mereka konsumsi sendiri, melainkan mereka jual. Bagi mereka, beternak babi cukup menguntungkan. Tidak banyak pekerjaan dan hasilnya segera dapat dinikmati.

Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Mereka bertanya tentang kehidupan di Sri Lanka. Saya jawab dengan jujur semua pertanyaan. Tidak ada yang saya besar-besarkan maupun yang saya kurangi. Saya cerita apa adanya. Kami juga mendiskusikan soal skripsi mereka. Supiro berencana membuat skripsi dengan judul Politik Praktis dalam Pandangan Agama Buddha. Saya beritahu beberapa buku referensi yang membahas soal politik dalam agama Buddha. Putu berencana mengambil judul Esensi Ketuhanan dalam Agama Buddha. Saya sarankan agar dia mempersiapkan judul lain. Ada kemungkinan judul itu akan ditolak.

Perbincangan kami akhiri karena ada tamu dari Sri Lanka. Seorang lelaki setengah baya datang bersama keluarganya. Ia bekerja di sebuah pabrik susu di Jawa Timur. Kebetulan, saat itu anak dan istrinya berkunjung ke Indonesia. Layaknya sebagai suami dan ayah, ia ajak jalan-jalan anak dan istrinya. Tidak ketinggalan, ia kunjungi vihara. Di Sri Lanka, merupakan suatu tradisi untuk berkunjung ke vihara. Mereka datang ke vihara kadang untuk bertemu dengan para bhikkhu guna mendapatkan nasehat dan petuah. Sering juga mereka datang untuk melaksanakan ritual keagamaan.

Sebelum tamu dari Sri Lanka itu sempat berpamitan, sepupu Pak Manto telah tiba. Dia datang juga untuk mengucapkan terima kasih. Selebihnya, kami berdiskusi soal agama dan filsafat kehidupan. Diskusi kami lebih terpusat pada meditasi dan hipnotisme. Dia ingin belajar meditasi, juga ingin tahu bagaimana proses hipnotisme dan apa sebenarnya yang terjadi saat seseorang sedang dihipnotis. Pertanyaan-pertanyaannya saya jawab ala kadarnya, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki. Soal dia puas atau tidak saya tidak tahu karena tidak ada seorang pun yang bisa merasakan kepuasan seseorang selain orang itu sendiri. Pengalaman hidup kita adalah milik kita sendiri. Tidak ada yang bisa memiliki pengalaman yang sama persisnya.

Oooooh Jakarta, Jakarta

Selama berada di Jakarta, kami berdua mendapatkan pengamalan luar biasa. Pengalaman itu tidak pernah kami dapatkan selama 3 tahun tinggal di Sri Lanka. Pengalaman apa itu? Terjadi power-cut, saat kami sedang membutuhkan listrik mungkin hal biasa. Meski tidak terlalu sering, kami juga beberapa kali mengalaminya. Saat hujan, lebih sering terjadi power-cut. Itu pun tidak terlalu lama. Mungkin hanya beberapa menit. Karena itu kalau di Jakarta kami mengalami power-cut, itu adalah hal yang biasa. Tidak terlalu mengejutkan. Bagaimana dengan air PDAM yang macet? Itu yang benar-benar merepotkan.

Seperti biasanya, kami mandi di pagi hari. Tentu kami tidak terlalu memikirkan soal air macet terlalu serius, walau pemikiran seperti itu ada. Saya hidupkan kran. Dengan santai, saya basahi seluruh badan dengan air yang sedang mengalir. Beberapa saat kemudian air saya stop. Saya ambil sabun cair yang memang sudah saya persiapkan. Tak butuh waktu lama untuk membuat seluruh tubuh saya penuh dengan busa. Seluruh tubuh benar-benar penuh dengan busa. Saya bersihkan bagian-bagian tubuh yang saya anggap kotor. Saya gosok bagian-bagian yang menjadi sarang daki. “Ah, sudah bersih. Tidak ada lagi daki yang melekat,” guman saya dalam hati. Berlahan-lahan saya putar kran. Air mengalir tetapi sedikit demi sedikit semakin mengecil dan akhirnya mati. Saya mengumpat dalam hati. “Ciloko tenan nek ngenekuwi carane.” Air macet saat tubuh masih belum bersih. Busa masih menempel di sana sini. Terpaksa, karena tidak ada cara lain, saya bersihkan tubuh dengan air seadanya. Saya pergunakan air yang masih menetes kecil untuk membersihkan busa.

“Coba saya cek di kamar mandi satunya,” kata Samanera Santacitto setelah saya beritahu air sedang macet. Air masih mengalir cukup kuat. Dia mandi. “Wah, saya juga mendapatkan pengalaman yang sama,” serunya setelah keluar dari kamar mandi. Airnya juga macet saat badannya masih penuh dengan busa.

Di Sri Lanka, kami tidak pernah mengalaminya. Air selalu megalir selama 24 jam nonstop. Selama tiga tahun kami berada di Sri Lanka, tidak pernah ada cerita air macet. Mau mandi sehari 24 kali juga boleh. Tidak ada yang melarang. Air juga tidak akan surut. Pemerintah juga tidak akan menegur karena pemborosan air. Mengapa bisa begitu? Karena kami selau mandi di sumur untuk vihara yang baru. Di vihara lama, kami memang mandi pakai air PDAM. Tetapi, tidak pernah macet. Air selalu mengalir selama 24 jam. Mau mandi tengah malam, tengah pagi, tengah siang atau mau tengah sore tidak masalah. Tidak perlu memikirkan air macet.

Sekarang ini, kami tinggal di Kota Kiribathgoda. Vihara kami hanya sekitar 20 meter dari jalan raya. Kota Kiribathgoda masih termasuk Great Colombo. Batas Great Colombo adalah Kota Kadawatta, sebuah kota yang agak jauh dari Kota Kiribathgoda. Vihara kami, juga menggunakan air PDAM. Tetapi, air itu hanya untuk keperluan nyiram bunga dan kamar kecil, bukan untuk mandi. Untuk mandi, kami lebih memilih menggunakan air sumur. Alasannya, lebih bersih dan lebih segar kendati Kota Kiribathgoda hanya lima meter dari permukaan laut. Juga tidak jauh dari laut. Kita hanya butuh waktu setengah jam dengan menggunakan bus untuk mencapai pantai.

Kami harus menimba pagi dan sore kalau mau mandi. Sumur kami tidak terlalu dalam. Kalau di musim hujan seperti sekarang, airnya penuh. Satu atau dua kali tarik sudah cukup. Kalau sedang musim kemarau, airnya memang agak dalam. Hanya saja, sumur kami tidak pernah kering. Kami terbiasa menggunakan air alami saat mandi. Hasilnya, benar-benar menyegarkan dan badan pun terasa bersih. Begitu saya mandi di Jakarta, apa yang terjadi? Bukan rasa bersih dan segar yang saya rasakan. Justru, badan jadi gatal dan kulit terasa kaku. Muka terasa tebal. Kulit minta digaruk berulangkali. Ini bukan mandi untuk menyegarkan tapi mandi untuk menyebalkan.

Mengapa orang Jakarta bisa hidup dengan air seperti itu? Apa Pak Presiden, para menteri, anggota parlemen tidak merasakan apa yang saya rasakan? Bagaimana dengan para artis dan peragawati yang kulitnya tampak mulus? Bagaimana dengan para budayawan, rohaniwan, intelektualis maupun jurnalis?

Di Jakarta #2

Sabtu, 11 November, 2006. Setiap pagi, sehabis makan pagi, Bhante Cittagutto selalu mengumumkan kegiatan untuk hari itu. Hari itu, kegiatan kami adalah acara potong tumpeng pada siang hari dan kebaktian pada sore harinya. Acara potong tumpeng akan diselenggarakan pada pukul 10.00 WIB dan kebaktian dilaksanakan pada pukul 17.00 WIB. Para bhikkhu dan Samanera diharapkan telah siap di ruang tamu sebelum acara dimulai.

Para bhikkhu menuju raung makan dalam posisi berbaris secara rapi. Yang paling depan adalah bhikkhu yang paling senior. Selanjutnya adalah yang lebih yunior. Kami adalah yang paling yunior. Saya sendiri yang paling muda dalam barisan itu. Umat-umat tampak bersikap anjali di sepanjang jalan menuju ruang makan, yang saat itu dipusatkan di Ruang Narada.

Sebuah tumpeng dan kue tar diletakakan di tengah ruangan. Banyak udang tampak sedang merambat medaki ke puncak tumpeng. Awalnya, saya tidak memperhatikan hal itu. Saya pun tidak tahu secara persis bagaimana bentuk tumpeng dan isinya. Setelah duduk, Samanera Santacitto berbisik kepada saya soal udang itu. Kami saling mengeluarkan uneg-uneg tentang udang-udang yang sedang merambat itu. Kami bicara dengan geguyon. Tentu tidak boleh keras-keras bicaranya. Kami sebagai yunior harus diam dan menghormati para senior.

Tumpeng ini dikhususkan untuk STI dan kue tar adalah untuk MAGABUDI yang saat itu juga genap berusia tigapuluh tahun. Tulisan HUT KE-30 STI & MAGABUDI tampak tidak sempurna. Sebenarnya tulisan itu sudah rontok sejak sehari sebelumnya. Namun, tidak ada orang yang memperdulikannya. Tidak ada orang yang mau memasang kembali tulisan itu. Bhante Saddhaviro, Pak Surya Widya, Bu Mettasari memberikan kata sambutan. Masing-masing mewakili STI, MAGABUDI dan ketua panitia.

Kebaktian dimulai pukul tujuhbelas lewat. Ada beberapa bhikkhu tamu dari Thailand. Mereka sengaja diundang karena telah berjasa membantu perkembangan umat Buddha di Indonesia. Yang memberikan ceramah adalah Bhante Pannavaro. Beliau adalah penceramah terbaik yang kami miliki. Cukup terkenal baik di dalam maupun di luar negeri, tentu di kalangan umat Buddha. Banyak yang beliau sampaikan. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan cerita bagaimana berdirinya STI. STI perlu menapaki kerikil-kerikil tajam nan cukup berbahaya. Mereka sangat tajam. Setiap saat, dapat melukai. Tetapi, syukurlah STI tetap maju dan bertahan hingga berusia 30 tahun. Di sela-sela ceramah itu, beliau juga mengharapkan kami berdua untuk terus bertahan dan maju. Dengan kata lain, beliau, secara pribadi, tidak menginginkan kami berdua untuk meninggalkan kehidupan monastik.

Sore itu, cukup banyak umat yang turut hadir dalam acara tersebut. Hanya saja, jangan tanyakan jumlahnya! Saya tidak sempat menghitungnya saat itu. Mereka berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan. Hanya itu yang saya tahu. Mungkin juga ada yang dari Bali dan daerah lainnya.

Selesai acara, saya sempat bertemu dengan Suzana Hermawan untuk beberapa saat. Dia biasa dipanggil Suzan. Dia adalah wakil pimpinan redaksi Majalah Dhammacakka. Kami berkenalan pada pertengahan tahun 2003. Saat itu, dia mengikuti program Silacarani selama dua minggu. Kebetulan, saya turut membantu pelaksanaan program tersebut. Ada lima wanita yang turut berpartisipasi dalam program tersebut. Mereka adalah Bu Ie Tjen, Meviana Chandra—saya biasa memanggilnya Ce Mery dan Suzana Hermawan. Hubungan saya dengan mereka tetap berlanjut setelah program selesai hingga kini. Yang dua saya sudah lupa namanya. Kami pun tidak pernah bertemu maupun saling kontak. Mereka berasal dari Lasem, Jawa Tengah.

Saat sulit menghubungi Bhante Cittagutto, bhikkhu yang bertanggung jawab atas kesejahteraan kami selama di Sri Lanka, kami akan menghubungi Bu Ie Tjen. Kami akan minta bantuannya untuk menghubungi Bhante Cittagutto. Hubungan saya dengan Ce Merry biasa-biasa saja. Tidak ada yang minta bantuan atau pun yang dimintai bantuan, tetapi mungkin yang paling akrab diantara ketiganya. Hubungan saya dengannya seperti adik dan kakak. Saya cukup menghormatinya karena faktor usia dan juga kedewasaannya dalam berpikir maupun dalam emosi. Dengan Suzan, hubungan saya cukup baik karena sebagai staf redaksi Majalah Dhammacakka, dia sering menghubungi saya kalau lagi butuh artikel. Saya bantu semampunya. Saya tulis artikel sesuai dengan pesanan. Kalau lagi sibuk, tentu saya akan menolak permintaan itu.

“Kamu kurus sekali sekarang,” kata saya dengan polos saat bertemu dengan Suzan. Saya melihat adanya suatu perbedaan yang mencolok. Suzan kini benar-benar kurus. Berbeda dengan tiga tahun yang silam. Belakangan saya tahu dia sengaja diet. Mungkin biar tampak langsing. Dia akan menikah bulan Desember ini. Dia perkenalkan calon suaminya kepada saya di suatu sore. Baru sekali itu saya bertemu dengannya. Tentu saya turut bahagia dia menikah. Hanya pesan saya, jangan lupa mengurusin majalah kalau sudah mengurusin suami. (semoga saja Suzan membaca tulisan ini).

Puncak acara dilaksanakan pada hari Minggu. Acaranya tidak dilaksanakan di vihara. Tetapi, dipusatkan di tempat pameran. Kami berdua merasa masih capek. Kami enggan untuk bergabung dalam acara tersebut. Kami berdua lebih memilih untuk istirahat. Ya, kami tidur dengan pulas siang itu. Selain itu, kami telah sepakat: Kalau saya tidak melakukan, Samanera Santacitto tidak akan melakukan. Kalau Samanera Santacitto tidak melakukan, saya juga tidak akan melakukan. Kami sepakat untuk selalu pergi bersama-sama, melakukan sesuatu secara bersama-sama selama berada di Indonesia.

Di Jakarta



Artikel yang lalu tentang kunjungan kami ke Indonesia, saya ketik di warnet. Saya pun tidak tahu apa ada kesalahan ketik atau tidak. Seingat saya, saya juga tidak memeriksanya. Kali ini, saya ini meneruskan lanjutannya. Saya tidak ingin cerita terpenggal begitu saja. Mas Sahrudin memang penulis idola saya. Tulisannya bagus. Sungguh saya sangat mengagumi tulisannya. Tapi, saya pun tidak ingin meniru kebiasaannya. Ia selalu bilang bersambung. Namun, sampai sekarang tak satu pun tulisan yang saya temukan sambungannya (semoga saja saya kelewatan baca). Artikelnya berjudul Fahuwa Raddun adalah favorit saya. Artikel itu telah saya baca berulangkali. Saya tidak bosan membacanya. Ceritanya benar-benar mengalir. Kata-katanya sangat lues. Sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sambungannya. Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri: “Mungkinkah ini akibat dari Munchausen Syndrome?” Bersambung tapi tak disambung. Mungkin tidak hanya saya yang kecewa. Bisa jadi, pengagum tulisan Mas Sahrudin sering mengunjungi blognya. Sesampainya di sana, mereka menutup blog dengan tangan hampa. Alasannya, sambungannya belum ada. Mungkin, hm…produsernya lagi ngantuk (lembur siang dan malam).

**************


Kami sampai di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, yang terletak di perumahan Sunter Agung Podomoro itu, sekitar pukul 20.30 WIB. Hanya ada satu bhikkhu di sana. Hanya Bhante Suratano yang ada. Bhikkhu-bhikkhu yang lain sedang mengikuti rapat pimpinan. Rapat tersebut rutin dilaksanakan setiap empat bulan sekali. Kali ini, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya terpilih sebagai tuan rumah.

Kami tidak langsung istirahat. Kami hanya ke kuti belakang untuk menaruh barang. Kuti itu letaknya di luar areal vihara. Tetapi, tidak jauh. Setelah itu, kami kembali ke depan. Kami diberi minuman sekedar untuk menghilangkan dahaga. Kami harus menunggu. Ya, menunggu rapim itu selesai. Kami harus bertemu sesepuh kami lebih dahulu, baru kemudian istirahat. Sambil menunggu, kami berbincang-bincang dengan Bhante Suratano. Kami berbincang-bincang di lantai atas. Sesaat kemudian Bhante Dhammajato tiba. Ia baru saja menghadiri sebuah acara di luar.

Ada beberapa bhante saat itu. Saya tidak ingat secara persis namanya. Dulunya, mereka adalah yunior kami. Mereka menjalani kehidupan monastik belakangan. Kami memilih untuk melanjutkan study ketimbang diupasampada (dikukuhkan menjadi bhikkhu). Sementara, mereka lebih memilih diupasampada setelah menjalani kehidupan sebagai samanera selama dua tahun. Kini, mereka menjadi senior kami. Meski demikian, kami tetap menghormati mereka. Kami tetap menjungjung mereka sebagai orang yang layak untuk dihormati.

Pembicaraan kami lebih terpusat pada kehidupan di Sri Lanka. Kami bicara soal para bhikkhu, pusat-pusat meditasi di Sri Lanka, juga tentang belajar kami. Kami lebih banyak menjawab pertanyaan. Terkadang saya yang menjawab, terkadang Samanera Santacitto. Cukup lama kami berbincang.

Rapim yang diselengarakan di Ruang Serba Guna itu, selesai pukul 22 WIB lewat. Ruang Serba Guna letaknya di seberang jalan. Juga terletak di luar areal vihara. Bangunan ini serta kuti belakang, dibeli belakangan. Sedangkan, tanah vihara seluas kurang lebih delapan ribu meter itu, disumbangkan oleh Bapak Anton Haliman. Beliau adalah pengembang perumahan Sunter Agung Podomoro (tentunya kalau saya tidak salah tulis).

Bhante-bhante yang baru saja menyelesaikan rapim, satu per satu berdatang ke lantai atas. Bukan untuk menjenguk kami. Tetapi, di lantai atas itu terdapat beberapa ruangan untuk tinggal. Lantai bawah digunakan untuk ruang tamu, kamar mandi, dapur dan ruang makan. Dalam tradisi kami, setiap yunior mempunyai kewajiban untuk menghormati senior. Tentu gaya dan cara kami menghormati senior berbeda dengan gaya dan cara ala militer. Kami menghormati tergantung pada tempatnya. Kami menghormati para senior dengan bersujud atau dengan beranjali (merangkapkan keduangan telapak tangan di depan dada). Cara ini telah diwariskan sejak zaman Sang Buddha masih hidup. Kami akan bersujud saat berada di tempat-tempat yang layak. Kalau di tempat-tempat ramai, kami cukup beranjali.

Saat itu, kami berada di tempat yang layak. Kami pun bersujud kepada bhante-bhante yang datang (Dalam terminology kami, sejud semacam ini disebut namaskara.). Cukup banyak pula bhikkhu yang mengikuti rapim. Hanya beberapa bhikkhu senior yang tidak hadir saat itu. Kami bertemu Bhante Jotidhammo malam itu. Beliau adalah ketua umum Sangha Theravada Indonesia. Kami juga bertemu dengan Bhante Subhapanno, Bhante Dhammadhiro, Bhante Saddhaviro dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saya merasa capek. Sejak jam enam pagi, kami sudah harus memulai perjalanan. Duduk selama lima setengah jam di dalam pesawat benar-benar menguras tenaga kami. Akhirnya, kami berpamitan untuk beristirahat. Kami beristirahat di kuti belakang. Satu kamar untuk kami berdua.

Di kuti belakang, ada empat kamar di lantai atas dan beberapa kamar di lantai bawah. Lantai bawah dipergunakan sebagai tempat tinggal para pekerja vihara. Sedangkan, lantai atas dikhususkan untuk para bhikkhu atau samanera tamu, terutama kalau kamar di kuti depan sudah penuh. Ada kalanya, bhikkhu-bhikkhu yunior yang tinggal di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, harus tinggal di kuti belakang bila tamu yang datang adalah bhikkhu senior. Malam itu, bhikkhu-bhikkhu yunior umumnya tinggal di kuti belakang bersama dengan kami.

Istirahat kami malam itu benar-benar pulas. Capek benar-benar menenggelamkan kami dalam tidur. Saya sendiri tidak mendengar lonceng berbunyi. Padahal, lonceng itu rutin dibunyikan setiap pukul lima pagi. Kami bangun jam enam lewat. Segera kami mandi. Tepat pukul tujuh kami semua harus sudah siap di ruang makan.

Kami agak terlambat untuk datang ke ruang makan. Semua para bhikkhu sudah siap. Mereka juga sudah mulai makan. Cukup banyak umat yang datang untuk berdana makanan. pagi itu

*************

“Para Bhante dan Avuso serta Samanera,” begitu Bhante Cittagutto mengawali pengumuman itu. Sapaan itu benar-benar menarik perhatian para bhikkhu dan kami berdua yang baru saja selesai makan. Bhante Cittagutto, sebagai seketaris Sangha Theravada Indonesia, mengumumkan bahwa semua para bhikkhu dan samanera diharapkan untuk berpartisipasi dalam acara pembukaan pameran bernuansa Buddhist, khususnya Theravada, yang digelar di sebuah mal baru. Mal itu letaknya tidak jauh dari vihara. Barangkali hanya satu kilometer dari vihara. Sayang, saya tidak ingat nama tempat itu (sorry ya pikiran saya lagi bebal).

Acara pembukaan pemaren Buddhist itu dilangsungkan dengan sederhana. Acara itu digelar di lantar sepuluh. Lantai ini memang belum selesai dengan sempurna. Tetapi, sudah ber-AC, dan cukup untuk mendukung acara tersebut. Bhante Subalaratano sebagai bhikkhu yang paling senior memberikan kata sambutan dalam acara tersebut. Beliau menceritakan liku-liku perjuangan Sangha Theravada Indonesia selama tiga puluh tahun. Perjuangan itu terasa amat berat, penuh dengan beban. Kini, hasilnya dapat dinikmati oleh tidak saja umat Buddha sendiri namun juga khalayak ramai.

Pameran itu dibuka oleh Bhante Jotidhammo sebagai ketua umum Sangha Theravada Indonesia. Ada beberapa vihara dan organisasi Theravada yang mengikuti pameran tersebut. Sangha Theravada Indonesia (STI) memamerkan cukup banyak foto, termasuk foto kami saat baru saja sampai di Sri Lanka. Majelis Agama Buddha Theravada (MAGABUDI) Wanita Theravada Indonesia (WANDANI), Pemuda Theravada Indonesia (PATRIA), juga turut menyemarakkan pameran tersebut. Beberapa vihara yang turut berpartisipasi dalam pameran tersebut adalah Dhammadipa Arama, Malang, Jawa Timur, Vihara Saddhaphala dari Jakarta, Girisena dari Lombok dan beberapa vihara lainnya.

“Apa Samanera punya saudara dari Sumatra?” tanya Bhante Atimedho sebelum acara dimulai. Saya katakana, “Ya, Bhante. Paman saya ada di sana.” Beliau pun mengatakan bahwa paman saya turut hadir dalam acara tersebut. Kami berusaha mencari, tapi tak ketemu. Di saat sedang berusaha untuk mencari, Bhante Atimedho bertanya kembali, “Apa Samanera tahu kalau ketemu dengan pamannya?” Saya tidak punya jawaban selain “Tidak”. Paman itu namanya Dwi Prayitno. Kami biasa menyebutnya dengan sebutan Lek Prayit. Dia adalah adik ayah. Entah pada tahun berapa ia berangkat ke Sumatera. Saya tidak tahu. Apakah saya sudah pernah ketemu di waktu kecil atau tidak, saya juga tidak tahu. Pokoknya tidak tahu. Paman saya pun tidak ada bedanya. Ia tidak tahu saya. Pun tidak mengenali saya seandainya bertemu.

“Samanera kenal orang itu?” tanya Bhante Atimedho saat saya sedang asyik mengamati sebuah foto. Saya perhatikan orangnya. Matanya agak sipit. Tampak lebih sipit dari saya. Kulitnya juga tidak terlalu putih. Tingginya, hampir tidak ada bedanya dengan saya. Tidak ada persamaan seperti ayah. Dia bukan paman saya. “Oh, tidak Bhante,” sahut saya sesaat kemudian. “Ya, itu paman Samanera.” Saya tidak kaget. Pun tidak teriak kegirangan. Kami tidak berpelukan. Tidak salaman juga. Semuanya terasa biasa. Tidak ada yang spesial. Kami bercakap-cakap sesaat dan saya pamitan karena saat itu kami harus bersiap-siap untuk santap siang.

***********

Setelah ambil sandal, saya menyaksikan Bhante Santamano sedang bercakap-cakap dengan Cik Hua Bie. Saya kenal mereka berdua. Cik Hua Bie berasal dari Lampung dan Bhante Santamano bertugas di Lampung. Saya mengenal mereka saat saya bertugas di Lampung. Saya tidak ingin ganggu mereka. Saya biarkan mereka meneruskan percakapan. Setelah selesai, barulah saya hampiri. Saya sapa Cik Hua Bie. Dia cukup kaget melihat saya. Ia tampak cukup bahagia. Saya tanyakan suaminya dan anak-anaknya. Mereka sebenarnya hadir dalam acara tersebut, tetapi entah kemana. Saya tidak bicara panjang lebar dengannya. Segera saya pamitan untuk kembali ke vihara.

Rasa capek masih terasa menyiksa tubuh saya. Istirahat pulas semalam tampaknya masih belum menyirnakan rasa capek itu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, segera saya istirahat begitu sampai di kuti. Sayang, saya tidak bisa beristirahat cukup panjang. Saya terbangun. Saya tidak bisa tidur lagi. Saya ingat ada janji. Paman dan bibi katanya sudah menelpon beberapa kali. Tetapi, tidak berhasil berbicara dengan saya. Mereka memang saya minta untuk datang sore itu. Pak Imam, juga saya minta datang sore itu.

Paman dan bibi serta anaknya datang setelah saya tunggu untuk beberapa saat. Anaknya bernama Rupasari, bibi bernama Komsah tapi saya tidak tahu nama paman. Mungkin bagi kebanyakan orang akan merasa aneh. Sebagian mungkin akan mencela, mengapa saya tidak tahu nama paman atau pun mengenalinya. Kami memang punya beberapa saudara. Semuanya berasal dari desa Tunahan, kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Sebagian keluarga telah pergi ke berbagai tempat demi perbaikan ekonomi. Kami sekeluarga bertransmigrasi ke Kalimantan Timur. Kami tinggal di sebuah desa terpencil di kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kertanegara. Dulu, desa itu tak terjamah oleh kendaraan selama berbulan-bulan. Untuk bisa pergi ke pasar atau ke Rumah Sakit, kami harus jalan kaki berkilometer jauhnya. Hubungan keluarga kami jalin dengan surat. Terkadang kami berkirim foto. Itulah sebabnya kami tidak saling mengenali.

Dengan paman dan bibi, kami bercerita soal kehidupan Sri Lanka. Makanan, budaya, dan tradisi masyarakat Sri Lanka adalah topik pembicaan kami. Tidak lupa saya pun menanyakan tentang kedua anaknya. “Purnomo sudah kelas dua SMK dan Rupasari kelas Enam SD,” paman menjelaskan.

Sebelum Pak Le dan Bu Le serta anaknya pulang, seorang lelaki masuk ke ruang tamu. Ia datang untuk mewancarai seorang bhikkhu. “Bhiksu siapa aja,” katanya. Bhante Khantidharo menyarankan agar dia mewancarai saya. Sebenarnya saya mengelak. Alasannya, simple. Saya masih sangat yunior dibandingkan dengan Bhante Khantidharo. Ada perasaan tidak enak kalau saya yang diwawancarai. Namun, Bhante Khantidharo tetap meminta saya untuk mau diwawancarai. Saya persilahkan dia dengan catatan “Mohon maaf bila saya tidak mampu menjawab seluruh pertanyaan saudara dengan sempurna.” Dia memperkenalkan diri. Dia menyebut sebuah universitas ekonomi. Lagi-lagi saya lupa nama universitas itu.

Wawancara berlangsung. Dia tidak bisa mewancarai dengan fasih. Tampak sedikit gerogi dan agak sedikit terbata-bata. [Mas Sahrudin tentu lebih fasih ketika mewancarai saya. Ya, memang perlu diakui kadang dia pun masih tampak kaku dalam mewancarai.] Beberapa kali saya harus mengulangi jawaban dan memberikan penjelasan lebih detail karena dia tidak paham. Maklum, dia bukan umat Buddha. Tugasnya adalah membuat sebuah artikel tentang agama lain dari sudut pandang agama itu, bukan dari sudut pandang agamanya. Dia berpamitan pulang setelah wawancara dianggap cukup. “Oh maaf, boleh tidak ya saya foto bareng karena syarat wawancara ini adalah foto bareng dengan nara sumber.” Kami foto bersama dan paman yang jadi kameramannya. “Terima kasih,” dan ia berpamitan pulang.

Pukul 15.30 WIB paman pamitan pulang. Ia membawa serta oleh-oleh yang saya berikan. Tidak besar. Juga tidak banyak. Hanya gambar Sang Buddha dan tiga buku hasil tulisan saya yang terbaru, yaitu Relevansi Agama Buddha terhadap Kehidupan Sosial, Arti Sebuah Pengabdian, dan Bhakti Seorang Anak. Saat itu Pak Imam belum juga muncul.

Pukul 16.00 WIB Rapim selesai. Bhante-bhante yang baru saja menyelesaikan Rapim berdatangan ke kuti. Seorang lelaki berbadan ramping, cukup tinggi masuk bersama Bhante Saddhaviro. Ia juga menyalami Bhante Saddhaviro. Senyumnya cukup ramah. “Bisa saya bertemu dengan Bhante Dhammasiri?” tanyanya setelah berjabat tangan. “Bapak, Pak Imam ya?” tanya saya. Saya persilahkan dia duduk di kursi sebelah saya setelah ia membenarkan pertanyaan saya.

Ini adalah kali pertama saya bertemu dengan Pak Imam. Sebelumnya kami hanya kenal lewat sms. Kami juga tidak pernah berkirim surat atau bicara via telepon. Pun tidak pernah saling kirim email. Hanya lewat sms kami berkomunikasi. Sore itu, dia datang atas nama keluarga untuk mengucapkan terimakasih kepada saya. Aslinya dia adalah orang Pati, Jawa Tengah. Dia tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di Cikarang. Dia harus mengendarai sepeda motor sekitar satu jam untuk bisa bertemu saya.

Ada apa gerangan sehingga Pak Imam jauh-jauh datang untuk mengucapkan terima kasih? Mereka ingin mengucapkan terima kasih karena saya telah menolong suami adiknya yang kena strok. Eith…tunggu dulu! Jangan salah prasangka! Saya bukan dokter. Bukan pula seorang dukun atau paranormal. Menyembuhkan orang seingat saya belum pernah, menyakiti orang sering. Menyembuhkan orang sakit belum tentu bisa. Menyakiti orang sehat sudah bisa dipastikan: 100% bisa. Caranya? Gampang. Ambil saja hamer. Pukulkan hamer itu ke kepala orang yang sehat. Pasti sakit. Kalau belum sakit? Tambahin saja satu atau dua kali.

Suatu hari, saya dapat email dari orang yang tidak saya kenal. Isinya, minta bantuan saya. Sepupunya yang sedang berlayar dari Padang, Sumatera Barat, ke Arab Saudi sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit di Kolombo. Nama sepupunya itu Edi Wachid Harmanto (maaf kalu saya salah ingat). Kami biasanya memanggilnya Pak Manto. Saya menemukan Rumah Sakit dimana Pak Manto dirawat. Ia dirawat di Nawaloka Hospital. Selama berada di Nawaloka sayalah yang selalu mengunjunginya setiap hari. Kalau sedang ada kuliah pagi, saya kunjungi sore hari. Kalu tidak ada kuliah, saya kunjungi pagi hari. Samanera Santacitto pernah sekali mengunjungi. Karena alasan itulah Pak Imam datang untuk mengucapkan terima kasih.

Sebenarnya, saya tidak mengharapkan ucapan terima kasih dalam bentuk apapun. Saya cukup senang membantu bila saya mampu. Kalau tidak, “I am sorry. I could not do anything.” Membantu semua orang yang sedang dalam kesusahan, apa pun agama, suku atau rasnya, adalah suatu kebahagiaan bagi saya. Bagi saya, cinta bukanlah soal mendapatkan sesuatu dari orang lain untuk kebahagiaan kita. Cinta adalah soal memberikan sesuatu untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian orang lain. Ia yang mampu memberi, menyejahterakan, membahagiakan dan mendamaikan adalah yang mencintai. Sejauh mana ia memberi, sejauh itu cintanya dapat diukur.

Kami berbicara panjang lebar soal Pak Manto. Pembicaraan tidak cukup sampai di situ. Kami juga bicara soal agama dan filsafat kehidupan. Kami saling bertukar pendapat. Saling memberikan informasi dan yang terpenting mencari suatu kesamaan untuk kemajuan bersama. Sekitar pukul 18.00, barulah pembicaraan kami berhenti. Kami sama-sama bahagia. Kami sama-sama senang: Hidup damai diantara multi-culture, multi-faith.